Dilema Klasik Menikah atau Mengejar Obsesi?

Ada Delima klasik yang secara turun temurun di alami oleh kaum muda. Yaitu Kebingungan antara menikah atau menundanya demi meraih cita-cita atau obsesi. Biasanya delima ini muncul saat angka depan dari umur sudah berganti menjadi 2. Kalau sudah kepala tiga, statusnya bukan delima lagi tapi beban. Dua pilihan ini memang mebingungkan. Di satu sisi, saat umur di atas dua puluhan ke atas keinginan untuk menikah memang muali menguat .Secara psikis atau fisik, seseorang memang sudah berada dalam fase menuju matang dan siap berumah tangga. Anjuran syari’at untuk segera menikah berikut berkah dan anugrah yang di janjikan semakin menguatkan keinginan. Lebih dari itu, kekhawatiran pada fitnah lawan jenis adalah alas an uama untuk segera melaksanakannya. Fitnah yang satu ini memang seringkali membuyarkan focus dan tujuan. Ditambah baying romantisme saat bertemu belahan jiwa nanti, seakan-akan taka da alas an lagi untuk menunda. Tapi disisi lain, kegamangan juga sama kuatnya merambati pikiran, secara kodrati seseorang pasti menyadari bahwa menikah akan membelah dirinya; waktunya tenaga, dan fikirannya. Padahal masih ada cita-cita, target dan obsesi yang ingin di capai. Dan menurut prediksi rasio, rasanya sulit meraih obsesi jika hanya bermodalkan kebulatan tekad tanpa kebulatan fokus, fikiran, tenaga dan waktu. Soal anjuran syari’at toh beberapa ulama menjelaskan, menikah masih boleh ditunda demi sebuah target yang menjaddi kemaslahatan yang nyata serta mampu bersabar. Menghadapi kebingungan ini tidak sedikit yang akhirnya hanya bisa berujar, “biarlah waktu yang menjawabnya.” Sebenarnya, kalau kita cermat mengurai massalah tersebut, kita tidak perlu menyerahkan jawabanya kepada waktu karena pilihanya ada di tangan kita. Yang kita perlukan yaitu memahami secara proposional konsekuensi dan tuntunan yang ada pada tiap pilihan. Kalau kita memilih segera untuk menikah, perlu diketahui bahwa prediksi rasio diatas ada benarnya. Menikah memang tidak akan meghalangi tujuan dan cita-cita sama sekali. Namun, menikah pasti menuntut waktu, tenaga, sepertiga, atau separuh bahkan lebih dari itu. Padahal secara Qouniyah hanya tiga fasilitas inilah yang dapat kita gunakan alat untuk meraih target dan cita-cita tertentu dalam menuntut ilmu misalnya, tidak sedikit para ulama menunda nikah, atau bahkan ada yang sampai tidak menikah. Imam Ahmad menunda nikah demi ilmu hingga 40 tahun. Ibnu taimiyah dan Imam ath Thabrani bahkan rela membujang hingga akhir hayat, meski tidak pernah menganjurkan hal itu kepada murd-muridnya. Sebagian orang menasehatkan, menikah tidak akan menghalangi seseorang menuntut ilmu. Bisa saja kuliah sambil menikah. Tapi kadangkala persoalannya tidak sesimpel itu, menikah dan berumah tangga adala pekerjaan yang tidak bisa di jadikan sambilan. Bahkan tidak menutup kemungkinan, rumah tanggalah yang akan menjadikan urusan lain sebagi sambilan. Apalagi jika sudah mempunyai momongan. Silahkan saja bertanya pada yang sudah menikah, berapa persen waktu yang harus mereka berikan untuk mengurusi rumah tangga. Tentunya jangan bertanya pada yang menelantarkannya. Nsmun begitu, hanya berpatokan pada logika diatas juga tidak sepenuhnya benar. Banyak juga yang mendapatkan Track untuk mendapatkan kesuksesan setelah menikah. Menjadi penulis, mendapat banyak ilmu dan meraih obsesi justru bisa didapat setelah menikah. Hati yang lebih tenang, bantuan dan kerja sama dengan istri menjadi factor yang sangat mempengaruhi. Tantangan memenuhi ma’isyah sekaligus meraih hasrat meraih obsesi justru melecut semangat yang menjadikan usaha dua kali lipat dari sebelum menikah. Tuntunan hidup juga semakin menumpuk kedewasaan dan membuat jiwa lebih sadar akan arti hidup, cita-cita dan masa depan. Imbang, dua-duanya memiliki nilai kebenaran argumentative masing-masing. Jadi sebenarnya yang menjadi soal dan membikin bingung bukanlah pilihanya tetapi kesiapan kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Karena bagaimanapun kita pasti akan memilih salah satu. Bukankah kalau kita menghindari dilemma ini dengan membiarkannya, dan tidak menikah berarti kita sudah memilih? Pilihan apapun tetapa akn membawa kita meraih apa yang kita inginkan asal punya target yang jelas, program yang terukur, dan yang tak kalah penting komitmen untuk mencapainya. Menikah benar-benar akan ‘menghambat’ kita dalam meraih obsesi. Jika kita ‘nekat’ nikah tetapi tidak siap dengan segala tuntutannya. Tidak siap memenej waktu dan kerja cerdas untuk memenuhi konsekuensinya. Kalu begini jangan sesali pernikahnnya, kalau akhirnya cita-cita tak kesampaian. Karena seperti terbukti diatas, tidak sedikit yang bisa meraih asa justru setelah menikah. Demikian pula menunda nikah tetap tidak akan membuat kita lebih mudah meraih keinginan jika pada akhirnya, membujang hanya membuat kita santai-santai dan buang waktu. Yang akan terjadi adalah kita tetap menjadi bujangan, tetap rawan kena godaan, tak merasakan manisnya pernikahan, dan tidak ada progres. Maksudnya kemajuan dari apa yang kita cita citakan. Jadinya nikah tidak, semakin pinter dan sukses juga tidak. Kesimpulannya, kalau kita dihadapkan pada dilemma ini, yang penting adalah kesiapan kita. Menikah atau single masing-masing memiliki resiko dan konsekuensi. Asal ada tekat, target dan komitmen, apapun pilihan kita Insyaallah, kita akan bisa meraihnya. Wallahua’lam. Ω

Komentar