Jadilah Keren Apa Adanya, Jangan Bohongi Diri!
Posted by Anis
Penampilan rasanya sudah ok. Apa ya
yang kurang? Mata Dio berputar-putar menyapu wajah cute-nya di cermin.
Ah… kurang keren nih kaya’nya kalau kurang topi. “Tapi, topi sepertinya lagi
dicuci nih, Bos,” gumamnya dalam hati. Hmm… topi Dito, kakaknya, keren juga
kalau dipadu dengan kaus dan jeans yang dipakainya. Dengan santai, diambilnya
topi Dito di kamarnya yang tak terkunci. Kebetulan kakaknya sedang kuliah, jadi
Dio dengan leluasa menyarangkan topi berwarna merah terang itu di kepalanya.
Eh… jaket Dito kayaknya juga keren. Sekalian aja deh!
Dio berjalan menuju pintu depan.
Ups, kantong koq kayaknya kurang tebel nih Man! “Ga’ cukup kayaknya
kalau harus latihan basket bawa uang cuma segini,” batin cowok kelas 1 SMU itu.
Langkahnya terayun ke kamar Dita, kakak sulungnya. “Mbak, aku pinjam uang
dunk,” rengek Dio pada Dita yang sedang mengerjakan tugas akhirnya itu. “Lha,
yang kemarin aja belum dipulangin. Lagi juga kamu ‘kan dikasih uang saku buat sebulan
sama Ibu. Emang dikemanain?”cecar Dita. “Kurang Mbak, pinjam dunk. Aku janji
deh, nanti kalau ibu kasih aku uang lagi, aku ganti uangmu Mbak.” Dita tak
kalah sengit, ”Bulan lalu aja utangmu belum lunas! Lho??”
Ya, begitulah hari-hari Dio. Selalu
tampil “lebih keren” dengan barang-barang pinjaman. Selalu lebih nge-bossy
dengan uang saku sebulan ditambah pinjam sana-sini. Keren sih, tapi yang tahu
modal asli Dio pasti akan mencibir.
...Kita membohongi diri kita sendiri bahwa sebenarnya
kita bisa tampil keren bahkan lebih keren dengan apa yang kita miliki...
Punya teman seperti Dio? Atau, malah
kita sendiri yang terjangkiti penyakit hobi pinjam? Be carefull, ah Sob.
Yang satu ini, bisa bikin kita nggak percaya diri, cenderung berbohong, atau
malah bisa bikin kita menginginkan barang milik orang lain.
Pinjam-meminjam memang kadang bisa
jadi solusi instan untuk memenuhi kebutuhan atau sekadar membuat diri kita
merasa lebih ok dihadapan orang lain. Untuk memperoleh barang yang kita
inginkan tak perlu pengeluaran ekstra. Bermodal kepercayaan, kita bisa tampil
lebih gaya dengan barang yang kita pinjam. Tapi, inilah awal yang paling
beresiko bagi diri kita dalam membangun kepercayaan diri. Kita tak cukup
percaya diri dengan apa yang kita miliki. Kita tak merasa dengan apa yang kita
miliki, kita bisa jadi yang paling keren ”luar-dalam”.
Belajar dari Sahabat Umar RA
Padahal Sobat, yang namanya pinjam
adalah ajang pertaruhan kepercayaan yang harganya sama spekulatifnya dengan
kapan ajal menjemput. Yuk, kita simak sejenak kisah Umar bin Khaththab yang
pernah ingin pinjam uang ke Baitul Mal. Umar RA ketika itu getir hatinya
melihat anaknya pulang sekolah sambil menangis. Anaknya tersebut diejek
teman-temannya, “Lihatlah, anak Amirul Mukminin (presiden) bajunya tambalan
seperti itu!”
Melihat anaknya diejek sedemikian,
Umar pun merasa iba. Dia lantas mengajukan pinjaman ke Bendahara Negara sebesar
empat dirham dengan jaminan gajinya sebagai presiden bulan depan. Namun,
jawaban yang diberikan Sang Bendahara Negara sungguh tak terduga, “Wahai Umar,
adakah engkau dapat memastikan bahwa engkau masih hidup hingga bulan depan?
Bagaimana jika engkau mati sebelum melunasi hutangmu itu? Apa yang akan engkau
perbuat terhadap hutangmu di hadapan Allah?”
Umar RA pun menangis ditegur
sedemikian rupa oleh bawahannya tersebut. Dia lantas menyuruh anaknya berangkat
sekolah seperti biasa. Demikianlah Umar bin Khaththab, presiden kaum Muslimin
kedua setelah Rasulullah SAW mangkat. Sedemikian takut belum dapat melunasi
hutangnya, bila ajal keburu menjemput. Padahal, beliau adalah presiden yang
“dapat berbuat apapun.” Namun, Umar lebih takut pada Rabbnya, dibandingkan
harus menyerah pada keinginannya.
Demikian pula dengan kepercayaan
yang membebani kita manakala memimjam. Kita tidak tahu apakah barang yang kita
pinjam tersebut akan aman selama berada di tangan kita. Apakah kita dapat
mengembalikannya dalam keadaan seperti semula, ataukah akan ada sesuatu yang
membuat barang yang kita pinjam tersebut rusak atau uang yang kita pinjam
tersebut tidak dapat kembali tepat waktu? Lalu, masih adakah umur bagi kita
untuk mengembalikannya? Bukankah kalau kita tidak mengembalikan sesuai dengan
keadaan semula atau tidak tepat waktu, itu sama saja dengan merusak
kepercayaan?
...Kita juga akan cenderung menjadi orang yang
membohongi diri dengan menjadikan meminjam sebagai kebiasaan...
Kita juga akan cenderung menjadi
orang yang membohongi diri dengan menjadikan meminjam sebagai kebiasaan. Kita
akan membohongi potensi kita yang sebenarnya. Kita membohongi diri kita sendiri
bahwa sebenarnya kita bisa tampil sama keren bahkan lebih keren dengan apa yang
kita miliki. Dengan demikian, kita tidak akan pernah menemukan “siapa kita
sebenarnya.”
Bila sudah dalam keadaan akut,
kebiasaan pinjam bahkan akan mendorong kita untuk memiliki apa yang kita pinjam
tersebut. Maka jadilah barang pinjaman tersebut berubah status menjadi hak
milik. Wah repot deh kalau udah sampe kayak gini.
So, sobat… yuk inget-inget banget
firman Allah SWT berikut ini: “Dan (ingatlah) ketika Robb-mu memaklumkan,
‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
tetapi jika kamu mengingkari maka pasti azab-Ku sangat berat” (Qs Ibrahim
7)
Yuk bersyukur dengan apa yang kita
punya. Pinjam? Boleh aja kalau itu memang harus dilakukan untuk hal yang sangat
penting. Kalau cuma sekadar menunjang penampilan… kamu udah keren apa adanya
koq!
Komentar
Posting Komentar