Jika Kau Menjadi Istriku Nanti
Author: Abu Aufa
Jika seorang
lelaki ingin menarik hati seorang wanita, biasanya yang ditebarkan adalah
berjuta-juta kata puitis bin manis, penuh janji-janji untuk memikat hati, “Jika
kau menjadi istriku nanti, percayalah aku satu-satunya yang bisa
membahagiakanmu,” atau “Jika kau menjadi istriku nanti, hanya dirimu di hatiku”
dan “bla…bla…bla…” Sang wanita pun tersipu malu, hidungnya kembang kempis,
sambil menundukkan kepala, “Aih…aih…, abang bisa aja.” Onde mande, rancak bana
!!!
Lidah yang
biasanya kelu untuk berbicara saat bertemu gebetan, tiba-tiba jadi luwes,
kadang dibumbui ‘ancaman’ hanya karena keinginan untuk mendapatkan doi seorang.
Kalo ada yang coba-coba main mata ama si doi, “Jangan macem-macem lu, gue punya
nih!” Amboi… belum dinikahi kok udah ngaku-ngaku miliknya dia ya? Lha, yang
udah nikah aja ngerti kalo pasangannya itu sebenarnya milik Allah SWT.
Emang iya sih,
wanita biasanya lebih terpikat dengan lelaki yang bisa menyakinkan dirinya
apabila ntar udah menikah bakal selalu sayang hingga ujung waktu, serta bisa
membimbingnya kelak kepada keridhoan Allah SWT. Bukan lelaki yang janji-janji
mulu, tanpa berbuat yang nyata, atau lelaki yang gak berani mengajaknya menikah
dengan 1001 alasan yang di buat-buat.
Kalo lelaki yang
datang serta mengucapkan janjinya itu adalah seseorang yang emang kita kenal
taat ibadah, akhlak serta budi pekertinya laksana Rasulullah SAW atau Ali bin
Abi Thalib r.a., ini sih gak perlu ditunda jawabannya, cepet-cepet kepala
dianggukkan, daripada diambil orang lain, iya gak? Namun realita yang terjadi,
terkadang yang datang itu justru tipe seperti Ramli, Si Raja Chatting, atau
malah Arjuna, Si Pencari Cinta, yang hanya mengumbar janji-janji palsu, lalu
bagaimana sang wanita bisa percaya dan yakin dengan janjinya?
Nah…
Berarti masalahnya adalah bagaimana cara kita menjelaskan calon pasangan untuk percaya dengan kita? Pusying… pusying… gimana caranya ya? Ih nyantai aja, semua itu telah diatur dalam syariat Islam kok, karena caranya bisa dengan proses ta’aruf. Apa sih yang harus dilakukan dalam ta’aruf? Apa iya, seperti ucapan janji-janji seperti diatas?
Berarti masalahnya adalah bagaimana cara kita menjelaskan calon pasangan untuk percaya dengan kita? Pusying… pusying… gimana caranya ya? Ih nyantai aja, semua itu telah diatur dalam syariat Islam kok, karena caranya bisa dengan proses ta’aruf. Apa sih yang harus dilakukan dalam ta’aruf? Apa iya, seperti ucapan janji-janji seperti diatas?
Ta’aruf sering
diartikan ‘perkenalan’, kalau dihubungkan dengan pernikahan maka ta’aruf adalah
proses saling mengenal antara calon laki-laki dan perempuan sebelum proses
khitbah dan pernikahan. Karena itu perbincangan dalam ta’aruf menjadi sesuatu
yang penting sebelum melangkah ke proses berikutnya. Pada tahapan ini setiap
calon pasangan dapat saling mengukur diri, cocok gak ya dengan dirinya. Lalu,
apa aja sih yang mesti diungkapkan kepada sang calon saat ta’aruf?
1. Keadaan Keluarga
Jelasin ke calon
pasangan tentang anggota keluarga masing-masing, berapa jumlah sodara, anak
keberapa, gimana tingkat pendidikan, pekerjaan, dll. Bukan apa-apa, siapa tahu
dapat calon suami yang anak tunggal, bokap ama nyokap kaya 7 turunan, sholat
dan ibadahnya bagus banget, guanteng abis, lagi kuliah di Jepang (ehm),
pokoknya selangit deh! Kalo ketemu tipe begini, sebelum dia atau mediatornya
selesai ngomong langsung kasih kode, panggil ortu ke dalam bentar, lalu bilang
“Abi, boljug tuh kaya’ ginian jangan dianggurin nih. Moga-moga gak lama lagi
langsung dikhitbah ya Bi, kan bisa diajak ke Jepang!” Lho?
2. Harapan dan Prinsip Hidup
Warna kehidupan
kelak ditentukan dengan visi misi suatu keluarga lho, terutama sang suami
karena ia adalah qowwan dalam suatu keluarga. Sebagai pemimpin ia laksana
nahkoda sebuah bahtera, mau jalannya lempeng atau sradak-sruduk, itu adalah
kemahirannya dalam memegang kemudi. Karena itu setiap calon pasangan kudu tau
harapan dan prinsip hidup masing-masing. Misalnya nih, “Jika kau menjadi
istriku nanti, harapanku semoga kita semakin dekat kepada Allah” atau “Jika kau
menjadi istriku nanti, mari bersama mewujudkan keluarga sakinah, rahmah, mawaddah.”
Kalo harapan dan janjinya seperti ini, kudu’ diterima tuh, insya Allah janjinya
disaksikan Allah SWT dan para malaikat. Jadi kalo suatu saat dia gak nepatin
janji, tinggal didoakan, “Ya Allah… suamiku omdo nih, janjinya gak ditepatin,
coba deh sekali-kali dianya…,” hush…! Gak boleh doakan suami yang gak baik lho,
siapa tahu ia-nya khilaf kan?
3. Kesukaan dan Yang Tidak Disukai
Dari awal
sebaiknya dijelasin apa yang disukai, atau apa yang kurang disukai, jadinya
nanti pada saat telah menjalani kehidupan rumah tangga bisa saling memahami,
karena toh udah dijelaskan dari awalnya. Dalam pelayaran bahtera rumah tangga
butuh saling pengertian, contoh sederhananya, istri yang suka masakan pedas
sekali-kali masaknya jangan terlalu pedas, karena suaminya kurang suka. Suami
yang emang hobinya berantakin rumah (karena lama jadi bujangan), setelah
menikah mungkin bisa belajar lebih rapi, dll. Semua ini menjadi lebih mudah
dilakukan karena telah dijelaskan saat ta’aruf. Namun harus diingat, menikah
itu bukan untuk merubah pasangan lho, namun juga lantas bukan bersikap
seolah-olah belum menikah. Perubahan sikap dan kepribadian dalam tingkat
tertentu wajar aja-kan? Dan juga hendaknya perubahan yang terjadi adalah
natural, tidak saling memaksa.
4. Ketakwaan Calon Pasangan
Apa yang
terpenting pada saat ta’aruf? Yang mestinya menduduki prioritas tertinggi
adalah bagaimana nilai ketakwaan lelaki tersebut. Ketakwaan disini adalah
ketaatan kepada Allah SWT lho, bukan nilai ‘KETAKutan WAlimahAN’ Karena
apabila seorang lelaki senang, ia akan menghormati istrinya, dan jika ia tidak
menyenanginya, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya. Gimana dong caranya untuk
melihat lelaki itu bertakwa atau tidak? Tanyakan kepada orang-orang yang dekat
dengan dirinya, misalnya kerabat dekat, tetangga dekat, atau sahabatnya tentang
ketaatannya menjalankan ketentuan pokok yang menjadi rukun Iman dan Islam
dengan benar. Misalnya tentang sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, atau pula gimana
sikapnya kepada tetangga atau orang yang lebih tua, dan lain-lain. Apalagi bila
lelaki itu juga rajin melakukan ibadah sunnah, wah… yang begini ini nih, ‘calon
suami kesayangan Allah dan mertua.’
Inget lho,
ta’aruf hanyalah proses mengenal, belum ada ikatan untuk kelak pasti akan
menikah, kecuali kalau sudah masuk proses yang namanya khitbah. Nah kadang jadi
‘penyakit’ nih, karena alasan “Kan masih mau ta’aruf dulu…” lalu ta’rufnya
buanyak buanget, sana-sini dita’arufin. Abis itu jadi bingung sendiri, “Yang
mana ya yang mau diajak nikah, kok sana-sini ada kurangnya?”
Wah…, kalo nyari
yang mulia seperti Khadijah, setaqwa Aisyah atau setabah Fatimah Az-Zahra,
pertanyaannya apakah diri ini pun sesempurna Rasulullah SAW atau sesholeh Ali
bin Abi Thalib r.a.? Nah lho…!!!
Apabila hukum
pernikahan seorang laki-laki telah masuk kategori wajib, dan segalanya pun
telah terencana dengan matang dan baik, maka ingatlah kata-kata bijak, ‘jika
berani menyelam ke dasar laut mengapa terus bermain di kubangan, kalau siap
berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan?’
Ya akhi wa ukhti fillah,
Semoga antum
segera dipertemukan dengan pasangan hidup, dikumpulkan dalam kebaikan,
kebahagiaan, kemesraan, canda tawa yang tak putus-putusnya mengisi rongga
kehidupan rumah tangga. Kalaupun nanti ada air mata yang menetes, semoga itu
adalah air mata kebahagiaan, tanda kesyukuran kepada Allah SWT karena Ia telah
memberikan pasangan hidup yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya, aamiin
allahumma aamiin.
Barakallahulaka barakallahu’alaika
wajama’a bainakuma fii khairin.
Wallahu a’lam bishowab,
- Haramnya Pacaran
- Pacaran Islami ?
- Hayo, Itu Cinta Atau Nafsu..?
- Wajib Putus .!
- Pacaran, Bikin Hidup Lebih Redup.!
- Hari ini masih pasaran,.? Gak level deh..!
- Putus, antara Halau & Galau
- Memilih Calon Suami
- Jika Kau menjadi Istriku Nanti
- Menikah Atau mengejar cita cita
- Pakaian Wanita
- Tulisan Cinta untuk Muslimah
- Musik & Hukumnya.
- Musik. Ibarat Khamr Telinga
- Zodiak Mu.!
- Kaukah Lelaki itu ?
- Suksesnya Laki – Laki .pdf