Kepada Apa Kita Berdakwah?
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Salah satu bentuk penyimpangan manhaj
dakwah yang muncul di tengah umat pada masa kini adalah seruan dan gerakan
untuk memprioritaskan penegakan khilafah atau daulah islamiyah di atas dakwah
kepada pemurnian akidah dan pelurusan tauhid.
Hal ini, tentu saja keliru, sebab
tujuan pokok dakwah para nabi dan rasul adalah untuk menegakkan tauhid di
tengah umat manusia, bukan kekuasaan.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul
yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Tujuan
Dakwah; Akidah atau Daulah?
Semata-mata tegaknya
sebuah pemerintahan Islam tidak bisa memperbaiki akidah umat manusia. Realita
adalah sebaik-baik bukti atasnya. Di sana ada sebagian negara pada masa kini
yang membanggakan diri tegak sebagai negara Islam. Akan tetapi ternyata akidah
para penduduk negeri tersebut adalah akidah pemujaan berhala yang sarat dengan
khurafat dan dongeng belaka. Hal itu disebabkan mereka telah menyelisihi
petunjuk para nabi dan rasul dalam berdakwah menuju Allah (lihat asy-Syirk
fil Qadim wal Hadits [1/80] oleh Abu Bakr Muhammad Zakariya. Cet. Maktabah
ar-Rusyd, 1422 H)
Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini
merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan
ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang
menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar
rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama.
Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa
selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid
ini dan meluruskan akidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab
at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Imam Ahli Hadits abad
ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahmenjelaskan,
“Nuh -‘alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama
seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya
dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun
demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang
diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalamMuhkam at-Tanzil (baca:
al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata:
Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan
Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan
dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya
selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah
dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka
wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan
-yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan
sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang
beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir,
oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya berhukum
dengan syari’at, penegakan hudud, tegaknya daulah islamiyah, menjauhi hal-hal
yang diharamkan serta melakukan kewajiban-kewajiban [syari'at] ini semua adalah
hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Sedangkan ia merupakan cabang dari
tauhid. Bagaimana mungkin lebih memperhatikan cabangnya sementara pokoknya
justru diabaikan?” (lihat dalam kata pengantar beliau terhadap kitab Manhaj
al-Anbiya’ fi ad-Da’wah ila Allah, fiihil Hikmah wal ‘Aql oleh Syaikh
Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah hal. 11 Maktabah
al-Ghuroba’ al-Atsariyah, cet. ke-2 tahun 1414 H)
Imam Ibnu Abil ‘Izz
al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “al-Qur’an berisi
pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang
disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga
berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta
ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan
istilah tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan
larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan
hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an juga berisi
berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya,
apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan
yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia
miliki. Di sisi yang lain, al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan
para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di
dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman
yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan
bahwa seluruh bagian al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan
balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik,
keadaan pelakunya, serta balasan bagi kejahatan mereka.” (lihatSyarh
al-’Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani,
hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)
Salah satu alasan
yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan wajib- memprioritaskan
dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah
karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari
penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain
itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia
melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah
mereka kepada Rabbjalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith
Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin
Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Realitas
Yang Memprihatinkan dan Solusinya
Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara
yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari
kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid
rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari
keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang
Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat
Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid
‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Tatkala para ulama
salaf sangat memperhatikan masalah tauhid ibadah, sesungguhnya mereka melakukan
itu semata-mata untuk mengikuti bagaimana Allah dan Rasul-Nyashallallahu
‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya. Karena tauhid rububiyah adalah
perkara yang fitrah ada pada manusia, tidak ada yang mengingkarinya kecuali
orang yang telah tercabut fitrah darinya dan terbutakan mata hatinya… Adapun
salafiyun -dengan manhaj mereka ini- berbeda dengan kaum Mutakallimin dari
kalangan Asya’irah dan selainnya yang melalaikan masalah tauhid ini dan tidak
mencurahkan segenap upaya mereka untuk mengokohkan dan mengajarkan hal itu
kepada umat manusia. Bahkan, puncak perjuangan mereka hanyalah berdalil untuk
menetapkan keberadaan al-Khaliq, padahal ini semuanya telah terpatri di dalam
fitrah manusia yang suci. Sebagaimana sudah kami isyaratkan baru saja. Oleh
sebab itu untuk menetapkan hal itu tidaklah memerlukan upaya yang rumit.
Apalagi sampai menjadikan segala upaya hanya untuk mencapai tujuan itu. Yang
demikian itu terjadi kepada mereka disebabkan mereka menganggap bahwa hakikat
ilahiyah adalah kemampuan untuk mencipta. Oleh sebab itu mereka berjuang untuk
memberikan penjelasan kepada manusia bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta.
Kelalaian inilah yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam berbagai
kotoran bid’ah dalam ibadah dan sebagian praktek kemusyrikan, akibat
mengesampingkan tauhid ibadah (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu,
Tarikhuhu, Majalatuhu, Qawa’iduhu wa Khasha’ishuhu, hal. 134 oleh Dr.
Mafrah bin Sulaiman al-Qusi, cet. Darul Fadhilah, 1422 H)
Oleh sebab itu sudah
semestinya -bahkan wajib- bagi para penimba ilmu dan para da’i untuk
memperhatikan masalah ini dengan baik dan menjadikan dakwah tauhid serta
pengingkaran terhadap syirik dan menepis syubhat sebagai prioritas utama dalam dakwah
mereka. Inilah yang harus dilakukan dan inilah dakwahnya para rasul ‘alaihimush
sholatu was salam. Sebab segala masalah lebih ringan dibanding syirik.
Selama syirik masih merajalela, bagaimana mungkin anda justru mengingkari
masalah-masalah yang lain! Kita harus memulai dengan pengingkaran terhadap
syirik terlebih dulu dan kita bebaskan kaum muslimin dari keyakinan-keyakinan
jahiliyah ini. Kita jelaskan kepada mereka dengan hujjah/dalil dan bukti yang
jelas, dan apabila memungkinkan dengan jihad fi sabilillah, hingga ajaran Islam
yang hanif ini kembali kepada kaum muslimin. Semuanya bisa berjuang sesuai
dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, di mana pun dan kapan pun.
Wajib bagi para da’i untuk tidak melalaikan masalah ini yang akan menyebabkan
mereka justru lebih memperhatikan masalah-masalah lain dan mengerahkan segenap
perjuangan dan usaha mereka untuk mengatasi hal itu. Janganlah mereka menutup
mata dari realita umat manusia yang terjerumus di dalam syirik dan penyembahan
kepada tempat-tempat keramat serta berkuasanya para penyebar ajaran khurafat
dan merebaknya ajaran sufi yang menjajah akal sehat manusia. Ini adalah perkara
yang tidak boleh didiamkan. Setiap dakwah yang tidak mengarah kepada pelarangan
dari kerusakan semacam itu adalah dakwah yang cacat, dakwah yang tidak baik,
atau dakwah yang tidak akan membuahkan hasil (lihat Syarh Kitab Kasyfu
asy-Syubuhat, hal. 24 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan. Cet. Ar-Risalah, 1422
H)
Kezaliman
Terbesar
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan
keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata,
“Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus
rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan
timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung
adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik
adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman
yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.”
(lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata,
“Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah.
Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu
merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak
kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena
sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa
ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala berfirman
tentang isi wasiat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku,
janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang
sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Setiap perilaku
maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan menghasilkan
dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para pelakunya
sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu yang
paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang
diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan
kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin
dimaklumi dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di
Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit
Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)
Jangan
Selalu Menyalahkan Orang Lain!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik
mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia
orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan,
seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para
penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula
raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para
penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya
(tidak adil) maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada
mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu
daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan
hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan
menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (dinukil
dariDa’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id
Ruslan)
Di masa seorang
pemimpin yang kejam dan bengis yaitu al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri
memberikan nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah,
tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai hukuman
[atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini
dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya
dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da’aa’im Minhaj
Nubuwwah, hal. 275)
Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku
kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa
kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati
kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma’alim
al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)
Saudaraku, mungkin
selama ini kita sering menyerukan penegakan syari’ah namun pada kenyataannya
kita adalah orang yang meremehkan syari’ah. Bisa jadi kita mengaku membela
akidah, tetapi ternyata justru kitalah perusak akidah. Allahul
musta’aan.
—
Artikel Khoirony.Net
Anda diperkenankan
untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang
ada di Khoirony12.blogspot.com dengan menyertakan Khoirony.Net sebagai sumber
artike.
Komentar
Posting Komentar