Menuju kader HMI yang berintelektual dan berideologi dalam peradaban INDONESIA Baru

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi kemahasiswaan tertua saat ini di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi yang berusia hampir sama dengan usia Republik ini, yang tepatnya lahir pada tanggal 5 Febuari 1947 tentu sudah begitu banyak hal yang terjadi pada organisasi ini.Pertumbuhan, perkembangan, kejayaan bahkan sampai pada kemunduran dan perpecahan pernah dialami pada organisasi yang didirikan oleh bapak HMI yaitu Prof. Lafran Pane di sebuah ruangan kuliah STI di Jogjakarta, tepatnya UII kini, 64 Tahun silam. Kita tentu masih ingat bagaimana tahun 70-an hingga 80-an HMI mengalami fase kejayaan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh/cendikiawan muslim serta aktivis lokal maupun nasional di republik ini. Inilah benih-benih remontisme masa lalu yang sering kita banggakan, kita tentu masih juga ingat bagaimana pada Kongres di Padang HMI terpecah dua antara HMI DIPO dan HMI MPO akibat azas tunggal yang di tetapkan oleh rezim yang berkuasa saat itu, terlepas dari segala motif dan tujuannya.


Baru di kongres di Palembang ishlah dua kubu HMI ini terjadi secara struktural walau hanya berhasil pada tataran KAHMI (Korps Alumni HMI) nya saja, semoga kedepan bisa lebih dipertegas dan berbagai problematika yang terjadi di Internal HMI, tidak terlepas dari warisan konflik-konflik yang tidak mencerdaskan tersebut, baik Dualisme Kepemimpinan dimasa lalu maupun citra HMI yang tergerus dari kader intelektual menjadi aktivis demonstran yang keluar dari subtansi fungsi dan peran HMI yang terkesan bergerak-gerak saja, tanpa ada sebuah langkah yang kongkrit buat menjawab problematika keumatan maupun kebangsaan, baik pada level komisariat sampai ke pengurus besar kita. Ini jelas memberikan preseden yang buruk bagi HMI di masyarakat. Tentunya kita juga masih ingat seperti kata jendral besar kita Jendral Sudirman bahwa “HMI yaitu Harapan Masyarakat Indonesia”.

Kondisi HMI yang sangat mengkhawatirkan pada saat ini bukannya tidak direspon oleh banyak pihak. Ada begitu banyak respon yang terjadi, baik itu respon negatif yang mengatakan bahwa sudah selayaknya HMI dibubarkan atau respon positif yang masih optimis dengan perbaikan HMI. Kita yang masih peduli dengan keberlangsungan organisasi ini sudah selayaknya merespon secara positif masalah yang terjadi di organisasi ini. Respon positif itu dapat kita tunjukkan dengan pemberian solusi-solusi atas masalah yang terjadi di HMI hari ini, dimana pemberian solusi harus mengacu kepada akar masalah yang terjadi di HMI. Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, apa akar masalah hingga HMI seperti ini?. Akar masalah tersebut jelas bukan berada dari luar organisasi ini, tetapi justru berada di diri setiap kader HMI, karena kita sendirilah yang menjalankan roda Organisasi ini. Sebab masa lalu adalah orang tua kita dan kita adalah anak untuk masa depan.

Kita harus jujur mengatakan bahwa hari ini pelaku yang membuat HMI menjadi mundur adalah diri kita sendiri, kita yang mengatakan diri kita sebagai kader HMI ternyata tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagai kader sebagaimana mestinya. Banyak analisa yang mengatakan kita terlalu larut dalam euforia dan terbuai dengan ke jayaan masa lalu dan HMI itu sendiri kehilangan senjata Trisula nya yakni:

1. Budaya intelektual yang semakin lemah
2. Wawasan ke Islaman yang kurang
3. Wawasan ke HMI-an yang mundur pada sebagian besar kader HMI

Tentunya saat ini kita di hadapkan dengan dua pilihan yang pasti, kita berdamai dengan realitas yang ada atau kita berjuangan untuk melawan realitas untuk meujudkan karakter kader HMI yang intelektual dan beridiologis dalam mengemban mission-mission HMI yang jelas tekmaktub dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI ”Terbinanya insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Inilah misi suci yang diemban oleh seluruh kader HMI setanah air. Kondisi diatas terjadi hampir di seluruh cabang-cabang maupun komisariat-komisariat se-Indonesia.

Kalau kita mencoba melihat kondisi HMI sebagai contoh pengamatan yang terjadi di HMI Cabang Pekanbaru dewasa ini, secara jujur kita harus mengakui terjadi Degradasi dan Frustasi intelektual kader-kader gejala pisikologisnya ditandai kurang semangat dan lemahnya milintansi kader. Banyak faktor yang mengakibatkan kodisi-kondisi itu, baik faktor luar maupun faktor dalam tubuh HMI cabang itu, sedikit kita mengurai kondisi luar HMI yang tidak kondusif yang terlihat dari kondisi kampus yang tidak mendukung bagi kemajuan HMI ataupun watak Mahasiswa yang Hedonis serta Apatis di perparah dengan adanya indikasi intervensi-intervensi senior pada ranah-ranah yang bersifat politis serta ”kurangnya sebuah apresiasi terhadap ide dan gagasan gagasan baru kader dalam beraktualisasi diri yang positif”.

Di tubuh HMI kita banyak menghabiskan energi dalam hal warisan-warisan konflik kepentingan masa lalu (komflik kongres maupun confercab) yang berimplikasi terhadap cabang-cabang dan akan bermuara terhadap komisariat yang merupakan ujung tombak HMI. Miss-comunikasi kerab terjadi baik kader terhadap alumni maupun PB kepada cabang-cabang ataupun cabang kepada komisariat yang jelas-jelas adalah ujung tombak pengkaderan HMI. Kurangnya kesadaran kader terhadap fungsi dan tanggung jawab kader, serta upaya distribusi kader yang sering terabaikan tidak hanya distribusi yang sifatnya penguasaan jabatan-jabatan strategis di kampus-kampus tapi juga distribusi kader yang telah berproses di HMI yang minim perhatian juga mandeknya regenerasi istruktur pengelola latihan serta kurangnya upaya trasformasi ilmu dari pendahulu-pendahulu yang tanpa kita sadari telah terabaikan.

Kondisi diatas adalah gambaran realitas yang terjadi hampir di sebagian besar Cabang dan Komisariat, jika kita memilih berdamai dengan realitas diatas, perubahan tentunya sesuatu hal yang mustahil akan terjadi (utopia) semata, dengan semarak dies natalis (Milad) HMI-64 pastinya setiap kader punya semangat dan rasa cinta akan impian perubahan ke arah yang lebih baik dalam arti kata berjuang melawan realitas yang ada sebab diam tanpa sebuah iktiar dalam perjuagan itu sama halnya mati sebelum mati.Tentunya sebuah perjuangan yang baik mesti memenuhi syarat-syarat tertentu yakni mesti ada upaya rekayasa yang terorganisir, sistematis maupun terpimpin.
Solusi kongkrit untuk mengatasi problematika yang terjadi di atas untuk meujudkan kader yang intelektual dan beridiologis harus di lakukan perencanaan-perencanaan yang strategis yang meliputi:

 1. Upaya singkronisasi antara kebutuhan kader dan tercapainya misi-misi HMI (mission sacree), dengan program pemetaan minat bakat mahasiswa & kader tersebut,yang menitik beratkan kepada upaya menjawab “students need & students interest”.

2. Konsilidasi dan silaturahim internal maupun exsternal HMI baik terhadap lintas kader maupun antar kader dan alumi untuk menatap arah dan tujuan HMI kedepan dengan program komunikasi dua arah dan sejajar.

3. Memotivasi peran-peran kekohatian dalam upaya meujudkan pribadi-pribadi perempuan yang muslimah propesional yang berkarakter melalui pelatihan-platihan dan seminar-seminar baik itu tataran lokal maupun lintas regional, serta nasional dalam upaya menjawab isu-isu gender. seputar keperempuaanan.

4. Mensuport terciptanya regenerasi instruktur dalam pengelolaan latihan seiring dengan komitmen yang dihasilkan dalam munas pertama BPL di depok.

5. Penguatan intelektual dan penanaman basis ideologis kader pasca LK1 dan LK2 dengan program FGD dan kajian-kajian keislaman jum’atan serta bedah NDP yang bernilai subtansi dasar perjuangan kader.

6. Menggalakkan lembaga-lembaga kekaryaan yang telah fakum seperti Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), dan lembaga yang berbasis keilmuan lainnya di seluruh cabang dan komisariat seindonesia.

7. Upaya penyikapan dan pengelolaan isu-isu kekinian baik tataran kampus, lokal maupun nasional & internasional dengan sinkronisasi peran kader dan alumni, upaya mewujudkan peradaban baru Indonesia yang Darusalam (terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).

8. Serta upaya yang tersistematis untuk melakukan pendataan kangotaan yang berbasis online se-Indonesia upaya peralihan dari paradigma sistem ke paradigma online. Seiring dengan membaca semangat zaman yang berbasis teknologi.

Dengan peningkatan kesadaran atas fungsi dan tanggung jawab kader-kader HMI maka sudah saatnya KITA beralih dari fase kemunduran menuju fase kebangkitan dalam upaya menciptakan kader-kader HMI yang Intlektual dan Idiologis sebab kita mesti yakin dengan kemampuan yang kita miliki dengan kekuatan keyakinan akan melahirkan keberanian dalam menghadapi tantangan dan ancaman masa depan yang menjadikan sesuatu yang mustahil menurut akal, akan menjadi mungkin dengan spirit Illahiah dan iktiar inilah hakekat tertinggi dari Yakin Usaha Sampai (YAKUSA), amien.

Epistemologi pemikiran NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan).

Kalaulah kita sepakati bahwa Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) kader HMI yang sejatinya lahir dari rahim kandungan ayat suci Al-Qur’an itu, yang terdiri dari poin-poin dasar keislaman yang prinsipil dan strategis, yang lansung mempengaruhi cara pikir dan pandangan hidup bagi kader himpunan. NDP ini ditulis oleh seorang Cendikiaan Muslim Indonsia yaitu ayahanda kita Nurcholis Madjid yang nota bene kader yang dilahirkan oleh HMI, merupakan dasar dalam sejarah dan tegaknya militansi yang bersemangat idiologis kader. Maka upaya me-rebuilding paradigma kader menuju penguatan dan pengokohan basis idiologis mestilah diupayakan dengan sungguh-sunguh, karna dengan perjuangan yang bersifat idiologis adalah prasyarat, untuk menghancurkan dan menaklukkan segala bentuk penindasan-penindasan baik penindasan fisik maupun penindasan intelektual itu sendiri dalam wujud nyata sebuah kesadaran kader yang bersifat meyeluruh (kolektif) dengan sasaran utama menuju muslim intelektual dan profesional.

Upaya me-rebuilding paradigma kader yang berbasis idiologis, dan intelektual, adalah sebuah upaya nyata dalam membangun kembali disini, yaitu mengembangkan budaya intelektual kader dan memperkokoh wawasan keislaman serta wawasan ke HMI-an dan juga penafsiran lebih lanjut terhadap misi-misi HMI (mission sacree) secara tegas dapat dikatakan bahwa misi suci HMI ialah berusaha menciptakan masyarakat yang adil dan makmur menuju visi bintang ‘Aras (kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan dalam wadah kerajaan Tuhan Allah SWT). Arti kata lain, mengarah kembali pemikiran atau pola pikir kader, agar sejalan dengan prinsip-prinsip nilai-nilai dasar perjuangan, jadi membangun semangat idiologis kader tidak semata-mata untuk memberi lebel hijau hitam pada mahasiswa tapi lebih kepada mereorientasikan framework pemikiran mahasiswa dalam wujud kader HMI. Yang menjadi suatu pertanyaan yang menarik yang mesti di pertanyakan yakni mengapa framework pemikiran mesti direoriantasikan? Masalahnya sangat sederahana dan komplek tergantung sudut pandang kita dalam peninjauan masalahnya bukan dalam artian kita mengampangkan permasalahan yang ada namun lebih kepada merubah cara pikir atau cara pandang kita terhadap solusi pada tujuan yang jelas yaitu kembali kepada nilai-nilai dasar perjuangan yang bersemangat ketauhidan kepada Allah SWT yang terkesan kini telah terjadi anomali ketauhidan.

NDP yang merupakan hasil (by-product) dari serangkaiaan dialektika pemikiran dan ilmu, serta gejolak batin seorang kader HMI cabang ciputat Ca’ Nur dalam lawatan nya ke timur tengah (baca: Sejarah Lahirnya NDP) mampu memberi warna baru bagi arah dan idiologi perjuangan HMI itu sendiri, walau target utama dari NDP mesti menjadi pandangan hidup Islam (worldview Islamic) kader yang dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam hal penyikapan berbagai problematika hidup, baik masalah keumatan maupun kebangsaan. Namun realitasnya seperti apa? Kita tidak bisa menapikkan, annomaly pemikiran dari pemahaman kader itu sendiri telah banyak terjadinya pergeseran dari capaian target yang semestinya pemahaman secara umum kader terjebak pada ranah-ranah pemikiran yang cendrung onani pemikiran seperti contoh terjebak pada dialektika ketuhanan yang tidak subtantif. Asumsi kita ini bisa terjadi oleh pemahaman filsafat dan wawasan keislaman kader yang kurang ataupun terlalu terseret arus paham rasionalisme yang pada titik klimaknya menjadikan akal sebagai Tuhan, yang melahirkan presepsi ketuhanan yang beragam kondisi ini jelas akan melahirkan sebuah prespsi baru dari sisi ketuhanan itu yang sejatinya.

Secara harviah/Epistemologinya antara Islam dan NDP itu sendiri sesuatu yang tak bisa dipisahkan seperti “Ibu yang melahirkan anaknya”, jadi sesungguhnya untuk memahami NDP sudah semestinya setiap kader harus memiliki wawasan keislaman yang jelas yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis seperti yang termaktub di dalam hymne HMI yang berazaskan Islam (Angaran Dasar HMI).
Peradaban Indonesia yang Darussalam

Dengan momentum dies natalis (Milad) HMI ke-64 tahun, sudah semestinya kita selaku organisasi mahasiswa Islam kembali kepada misi suci (mission sacree) lahirnya HMI, untuk mewujudkan Indonesia yang darussalam, di tengah-tengah pergolakan Geopolitik Nasional maupun Internasional, yang ditandai gejolak politik di beberapa Negara Islam seperti Revolusi mesir maupun Revolusi yang terjadi di Tunisia yang sejatinya babak baru munculnya sebuah wajah politik dan tatanan pemerintahan dengan digantikan rezim penguasa mengingatkan kita pada peristiwa Reformasi yang bergulir di Indonesia 13 tahun silam, yang berhasil melengserkan orde baru (rezim Soeharto) yang membawa angin segar perubahan baik tatanan politik, sosial, ekonomi dan budaya (baca: Saatnya kaum muda menatap masa depan Indonesia) untuk mewujudkan sebuah peradaban baru Indonesia.

Peradaban merupakan arti dari kata tamaddun (yang secara literal berarti peradaban, civilization). Dalam kenyataannya, peradaban sering didefinisikan sebagai “kota yang berlandaskan kebudayaan” (city-bases culture) atau “kebudayaan kota” (culture of the city). Kata tamaddun dalam bahasa Arab secara tepat berarti “peradaban” dalam pengertiannya yang modern. Kata lain yang berasal dari akar madaniyah yang secara harfiah berarti “urbanisme”. Tetapi pengertian teknis dari istilah ini adalah “Peradaban”. Kata Hadharah yang sama halnya dengan peradaban yang seiring digunakan oleh orang arab tersebut. Namun kata itu, kurang bisa diterima oleh kaum muslim non-arab yang lebih senang mengunakan istilah Tamaddun untuk istilah peradaban. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim pertama yang meyusun konsep tentang peradaban di abad XIV yang lebih di kenal dengan nama Ilm Al-Umran.

Barulah di abab ke-19 para Pemikir Barat menulis tentang Peradaban arti kata lain umat Muslim lebih maju 500 tahun dari pada sarjana-sarjana pemikir barat. Tamadun ataupun Hadharah secara Terminologi yakni peradaban perbedaan istilah diatas tidak lah merupakan suatu yang mesti dipertentangkan namun kembali kepada subtansi dasar dari tujuan yang semestinya. Ibnu Khaldun mengunakan istilah Umran untuk mengartikan ungkapan peradaban beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan peradaban adalah “Organisasi sosial”. Ketika organisasi sosial di lahirkan peradaban muncul, jika organisasi itu menjadi jaya (populous), sebuah Umran besar atau Peradaban besar menjelma, dalam arti kata lain inilah cikal bakal berdirinya sebuah Negara (Daulah).

Kalau kita kembali ke era awal penyusunan UUD 1945. Pemikiran yang lahir dalam perdebatan siding-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), antara lain menyangkut masalah dasar negara dan materi yang harus diatur dalam suatu undang-undang dasar, atas permintaan ketua BPUKI Dr. KRT. Radjitman Wedyodiningrat, apa yang menjadi dasar negara bagi negara Indonesia?

Ada tiga pembicara yang menyampaikan pendapatnya diantaranya Muhammad Yamin mengenai Peri-Ketuhanan sebagai dasar negara selain Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. M. Yamin mengatakan bahwa bangsa Indonsia yang akan bernegara merdeka itu ialah bangsa berperadaban luhur dan peradabannya itu mempunyai Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu maka dengan sendirinya kita insaf bahwa Negara Kesejahteraan Indonesia Merdeka itu akan ber-Ketuhanan. Tuhan akan melindungi Negara Indonesia yang merdeka itu (Baca: Yamin, Naskah I.op.cit hal. 94). Soepomo memiliki pandangan lain bahwa menurut nya tentang agama yang harus dipisahkan dari urusan negara dengan demikian urusan agama mesti diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Dalam artian negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu bersifat a-Relegius. Itu bukan Negara Nasional yang bersatu dan hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.

Pada kesempatan terakhir tepatnya 1 Juni 1945 Soekarno tentang Dasar Negara yang lebih dikenal dengan sebutan Pancasila mengenai dasar ke-Tuhanan yang Maha Esa, dinyatakan bukan Bangsa Indonesia saja yang ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendak nya ber-Tuhan. Soekarno menekankan bahwa menjalankan sikap beragama haruslah berkeadaban yang diartikan dengan sikap hormat menghormati satu sama lain atau beragamalah dengan penuh toleransi seperti yang diteladani oleh Nabi Muhammad SAW.

Dengan arti kata kita tidak memaksa persatuan tapi lebih kepada mengelola berbagai perbedaan menjadikannya satu kesatuan yang utuh dalam sebuah bingkai peradaban Indonesia yang Darussalam.
Jadi spirit kelahiran HMI pada tahun 1947 adalah sebuah kesadaran akan wawasan keumatan dan kebangsaan yang dimotori oleh kaum muda yang nota bene Mahasiswa Islam yang fungsi dan perannya sebagai sebuah organisasi Perjuangan (Angaran Dasar HMI) yang terus mengawal dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Indonesia.
Jadi tak dapat kita navikan bahwa sanya. HMI yang lahir dengan semangat wawasan keumatan dan kebangsaan itu, yang kini genap berusia 65 tahun merupakan elemen yang ada di Bangsa Indonesia yang kita cintai ini sudah sepatutnya menjadi garda terdepan bersama elemen-elemen kemahasiswaan dan pemuda-pemudi lainnya untuk mewujudkan sebuah peradaban Indonesia yang Darusalam dalam arti kata lain mwujudkan masyarakat adil dan makmur serta diridhoi Allah SWT.


Oleh: Rasyid Ridho Siregar

Komentar