Tangis Pengantin

“Sepantasnya ini disebut surga. Karena semua nampak begitu indahnya, lengkap pula dengan buah khuldi tergantung matang menunggu untuk dipetik sang Adam.”
“Aih, buah khuldi itukah? Percaya padaku, Adam dan Hawa dalam surga ini takkan saling tergoda. Dan buah khuldi itu akan aman-aman saja di tempatnya tergantung.”
“Benarkah? Kalau begitu malang benar nasib para setan.”
”Benar. Mereka, para setan, takkan ada kerja di surga ini. Pamor setan sebagai jawaranya penggoda hancur luluh lantak di sini.”

Surgakah ini? Karin menatap nanar kamar pengantinnya. Sebuah ruangan yang luas, indah dengan aroma keharuman lembut yang sejatinya sanggup menghipnotis setiap jiwa. Pernik ornamen yang terpajang nyata menonjolkan sentuhan pribadi perfeksionis dan sangat teliti. Masih jelas terbayang dalam benak Karin, momen-momen menyenangkan saat dirinya ikut mengatur dimana letak meja rias, buku-buku, meja tambahan dan sepasang kursi dengan sandaran berbentuk hati, furnitur yang dipesan khusus dari Jepara. Atau lemari besar yang seluruh badan perseginya itu tenggelam dibalik dinding. Butuh waktu sangat lama dan proses yang tak mudah untuk merancang surga ini. Walaupun demikian, segala keindahan ini bukanlah selera Karin. Detil desain dan tata letaknya terlalu sempurna untuk seorang Karin. Terlalu feminin untuk Karin si tomboy penganut paham minimalis praktis.

”Kuharap sesuatu yang romantis akan terjadi di sini.”
”Saranku, hapus harapan itu. Karena kuyakin, tidak akan terjadi apapun.”
”Mengapa bisa begitu?”
“Kita lihat saja.”

Karin tergugu menatap kotak besar yang, walau masih tertutup rapat, di dalamnya masih terlipat rapi sebuah gaun berbahan super lembut dan tembus pandang. Karin ingat warnanya yang peach-pucat dengan renda merah-marun yang amat seksi. Harganya berapa, beli dimana, berdiskon atau tidak, dan label impornya. Karin pun tak mungkin lupa tentang debat kecil seru saat membahas lingerie itu. Debat yang tentu saja mustahil dimenangkannya. Buat apa pula? Toh, baju tidur semacam itu memang bukan selera Karin. Bukan gue banget deh, begitu klaim Karin pada setiap hal yang jauh akan citra dirinya.

Dari sudut matanya, Karin melirik apa yang membungkus tubuhnya. Secara keseluruhan itu bukan gaun tidur yang akan direkomen siapapun untuk malam pertamanya. Piyama batik usang? Oh, sama sekali tak mempertontonkan lekuk tubuhnya sebagai kembang yang tengah ranum memekar dan siap direguk nektarnya oleh seekor kumbang. Jauh! sangat jauh dari kesan romantis, apalagi sensual yang menuai khayal.

“Apa yang sedang kau lakukan? Mulutmu komat-kamit seperti sumbu dinamit.”
”Aku tengah berdoa semoga isi kotak besar itu lekas dikeluarkan, lalu dicoba walau hanya untuk sesaat saja.”
”Dan kau akan berliur setelah melihat betapa indah karya Tuhan. Begitu?”
“Hehe, kau cemburu rupanya.”
“Taklah. Aku justru tengah memprediksi bila kotak besar itu akan tetap tertutup. Setidaknya untuk malam ini.”

Dalam kamar bercahaya temaram, sendu nan melenakan, Karin duduk mematung seorang diri. Berkali menghela nafas panjang, bukan dengus nafas yang membuat syaraf kelelakian mengejang. Tidak, tidak, bukan seperti itu. Karin sangat yakin saat-saat romantis-dramatis itu takkan terjadi. Di sini, di kamar pengantin ini, kamar yang digadang-gadang sebagai surganya sepasang anak manusia dalam pertautan yang direstui Tuhan. Benar sekali, puisi cinta takkan dibacakan. Bujuk rayu yang menggelitik telingapun takkan terdengar. Rengek manja yang mengacau hati takkan terngiang. Itukah belaian lembut penuh kasih,  kuntum bibir yang memabukkan, ataukah tarikan kasar yang memamerkan kejantanan… ?

Sungguh, takkan ada diskusi antar ego dua libido semacam itu. Takkan, takkan pernah ada. Kamar ini akan tetap hening hingga fajar menyingsing. Adapun pemecah kesenyapan ini dan penyumbang suara yang ada hanyalah detak jarum jam bersahutan dengan dengkur halus dari pria yang sesiang tadi duduk bersanding dengan Karin di atas pelaminan adat, pria itu kini tertidur pulas dalam damai di atas sofa panjang tak jauh dari rak buku-buku. Busananya bukan lagi busana kebesaran seorang raja sehari dimana kemegahan membuatnya tampil gagah, namun satu stel piyama ungu muda dengan lis merah-marun senada dengan lingerie yang masih terlipat, dan untuk kesekian kalinya semua itu bukanlah pilihan Karin walau dua tangannya yang telah membopong pulang seperangkat pakaian tidur itu.

“Mungkinkah terlalu lelah menerima tetamu undangan siang tadi?”
“Bisa jadi.”
“Atau mungkin seseorang telah menaruh bubuk penidur dalam minumannya?”
“Itupun bisa menjadi satu kemungkinan.”
”Ah, ayolah, seperti kau tak tahu saja. Keheningan ini bukan sebab apa, namun tak lain karena menunggu tepat tengah malam jelang dini hari yang benar-benar sepi.”
”Maka kehadiran kau dan aku di sini selayaknya mata lensa CCTV harus segera diakhiri? Begitu ? Kuyakin tidak.”

Karin membelai sayang tepi ranjang yang kesepian. Sprei dan bed cover berbahan super. Bantal-bantal empuk yang menumpuk. Tirai tipis yang menjuntai lunglai. Aroma kesturi dimana-mana. Oh, betapa tubuhnya telah meronta, sangat menuntut untuk direbahkan di sana. Namun, ”Tidak !” hatinya tegas menolak. L
alu sebuah karpet berbulu tebal menjadi pilihan. Karin menggelar sehelai selimut di atasnya demi menghindari alergi pada bulu-bulu. Karin tak mau bersin-bersin yang sulit dihentikan menjadi pendobrak lelapnya pengantin pria, temannya berbagi kamar malam ini. Kemudian sehelai selimut yang lain, Karin pakai sebagai pelindung tubuh dari kesejukan ruangan yang perlahan mulai membekukan tulang.

”Sepasang pengantin yang aneh.”
”Sangat aneh.”
”Ini pasti kasus dijodohkan secara paksa. Aku yakin sekali !”
”Aduh, ingatlah bahwa ini zamannya selular pintar, bukan zaman Siti Nurbaya bodoh dan penurut yang menciut saat dimaki sekedar buang kentut !”
”Hm, kau benar. Oh, kalau aku pengantin prianya, maka takkan kusia-siakan sosok indah mencolok di depan mata. Dibiarkan menganggur dan lebih memilih mendengkur. Benar-benar sebodoh-bodohnya pria!”
”Yeah. Dan kalau aku pengantin wanitanya, maka takkan lelah kumenggoda hingga pengantin priaku kehabisan nafas dalam nikmat dekapanku.”

Demi Tuhan, Karin takkan menolak sebuah perjodohan. Karin tak pernah risau siapa jodohnya. Siapapun pilihan ayah dan bunda tentulah pria terbaik hasil seleksi ketat kedua orang tua yang selalu menginginkan kebahagiaan bagi putrinya. Alih-alih melumerkan hati lelaki, Karin justru lebih risau pada hasratnya menaklukkan lereng terjal sebuah gunung, mengunjungi sebanyak mungkin keindahan dan keunikan ciptaan Tuhan di tiap anak benua. Hasrat menggebu yang sulit mendapatkan restu.

Lalu pengantin pria ini? Karin menatap gundah. Dia bukan tak mengenal siapa pria yang kini telah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Sejak hari pertama Karin melepas seragam SMAnya hingga hari ini, lima tahun telah berlalu dan tentunya itu kurun waktu yang cukup lama, bukan? Benar, selama itulah Karin telah bergaul dengan si pengantin pria. Begitu mengenalnya, hingga Karin sangat hafal pada lengkung asimetris di bibir yang tidak tipis kala pria ini tersenyum dengan amat manis. Karin ingat dirinya selalu tertulari dan ikut tersenyum walau sangat tahu senyum manis itu tak pernah untuknya. Karin pun sangat memahami gurat kecewa, riak bahagia, raut lelah atau datar-datar saja yang mewakili suasana hati pria yang dikenalnya sangat relijius, santun, penuh semangat, hangat penyayang walau tak banyak cakap dan gesit bertindak.

Tak ada yang Karin tak tahu. Semua Karin tahu. Sebab kehadiran pria ini di rumah begitu intens. Bahkan aktifitas di luar rumah pun Karin harus turut terlibat. Harus ? Mengapa harus ? Sebab tak mungkin melibatkan kak Luqman yang telah berkeluarga atau Faiz, si bungsu yang belum boleh tahu perkara asmara. Hanya Karin  sajalah yang menjadi andalan ayah-bunda sebagai penengah demi sebuah hubungan yang sebisa mungkin diminimalkan mudharatnya untuk keselamatan dunia-akhirat, demikianlah ajaran agama dari orang tua. Maka dimanapun tali asmara itu dipintal, kemanapun benang asmara itu dirajut, jadilah Karin sebagai buntut. Anjangsana ke majelis-majelis taklim pemuda atau menghabiskan senja ke mall, Karin akan selalu hadir. Hanya di beranda rumah saja, Karin melimpahkan tugas itu kepada ayah. Padahal tanpa kehadiran pihak ketiga, Karin sangat yakin asmara itu akan terjaga suci hingga ijab kabul kelak menghalalkannya.

”Sudahlah. Aku lelah. Terlalu lama menunggu romansa yang jelas takkan pernah terjadi. Mari kita pergi, Dek. Surga kita telah menunggu.”
”Dan membuat romansa sendiri di sana, bukan begitu, Bang ?”
”Hehe, kau benar sekali, Dek,” jawab cicak jantan senang seraya melenggang diikuti betinanya yang dipanggil ”Dek” itu. Keduanya merayap menuju celah sempit di atas plafon, surga mereka yang indah.
Karin meraih kartu undangan yang diam-diam disimpan. Nama kedua mempelai dalam tinta emas, masih tertera tegas di sana. Dewa Anggarahadianto, nama pengantin prianya. Karin memanggilnya kak Angga. Nama yang sejatinya sangat serasi berdampingan dengan nama sang pengantin wanita. Bahkan dua keluarga besar pun telah sepakat bila kedua pasangan itu memang berjodoh. Hingga Dewi Anggiaranti, gadis muda yang cantik, manis, feminin, ramah, santun, muslimah yang taat, pergi begitu saja hanya satu hari jelang hari H pernikahan, hari yang telah dipersiapkan kedua belah pihak secara matang sejak sangat lama. Sejak asmara keduanya mulai tumbuh, bersemi lalu saling mengunci erat hingga ikrar sehidup semati tergurat di relung hati masing-masing. Karin tahu ikrar itu, karena kak Angginya tercinta tak pernah luput sekalipun menceritakan hal-hal yang dilaluinya bersama Angga, sang kekasih.

Karin tak mudah menangisi sesuatu, namun malam ini, di surga lengang ini, Karin pelan-pelan mengusap air matanya yang deras mengalir. Entah menangisi kepergian kakaknya. Meratapi kecelakaan tragis yang telah mengubur dalam-dalam impian kak Anggi hidup berbahagia bersama kak Angga. Ataukah mengasihani dirinya sendiri ? Entah. Karin hanya tahu memuaskan tangisnya saja…

- Tamat -




Jasmine

Komentar