Menwa So Cruel..
Gue gak ngerti apa akibat pembaca yang
nanti membaca tulisan ini. Semoga ga mengalami diare menahun di idung.
Semua
kejadian ini bermula saat negara api menyerang. Si avatar butuh tentara yang
siap membantu menyelamatkan dunia dari kehancuran. Dan gue sebagai seorang yang
sadar akan kehormatan dalam pembelaan negara merasa terpanggil.
Karena
yang gue denger menwa itu unik, satu satunya cara masuk hanya dengan mengikuti
pendidikan selama 3 minggu. Dan dalam pendidikan itu, kami dididik
kedisiplinan dan ilmu keprajuritan untuk membela negara.
Oke, tapi itu sebenernya bukan tujuan gue masuk menwa..
Di awal masuk ITB gue diajak temen gue,
‘yas kan ITB liburnya 3 bulan nih, kalo kita pulang kampung takutnya ada hal
yang harus di urus di ITB, tapi kalo di ITB ntar biaya makan kita membengkak.’
Gue tanggepin, ‘ah, iya juga ya. Aduh,
gimana nih? Kan liburan ga termasuk rangkaian yg dibiayai pemerintah rumah
tangga keluarga gue (bapak), ntar gue makan apa? Kalo gue ga makan ntar gue kurus?
Kalo gue kurus ntar gue jadi ga mirip lagi ama Jet Li. Gimana nih?’ #dengan
sedikit gubahan hiperbola dari teks asli.
‘Tapi gue dapet kabar katanya kalo ikut menwa ada pendidikan gitu selama 3 minggu. Disana dikasih makan gratis.’, lanjut temen gue. Gue langsung bertekad bulat dan dengan semangat 45 memutuskan kalo gue bakal ikut menwa.
Nah itulah, alasan paling absurd yang
pernah terjadi dalam idup gue.
Sekarang ke inti postnya kawan2 semua.
Banyak orang diluaran sana mencemooh
menwa, ’apaan itu menwa, ga jelas, sia sia, aneh, otoriter, dsb.’. Tapi kalo
menurut gue itu karena mereka hanya sekedar tahu diluarnya saja. Ingat, jangan
lihat kacang dari kulitnya. Dan jangan beli sukro, karena isinya tepung semua!
Awalnya gue kira pendidikan itu kayak
seminar. Makan, talkshow, coffe break, makan, talkshow, makan, tidur, makan,
dan makan lagi (Oke, jujur semenjak ngekost orientasi makan gue jadi
berlebihan). Meskipun kata angkatan atas yang ikut menwa, ‘kalo lo ikut, lo
bakal dapat jauh lebih banyak dari yang lo harepin, jauh, pokoknya jauuuh’. Gue
ga terlalu yakin, itu mungkin strategi marketing dia buat ngeyakinin pelanggan.
Bisa aja kan ternyata begitu ikut selama 3 minggu gue dikirim buat jadi TKI.
Nah, tapi setelah gue liat beberapa foto
angkatan atas waktu diklat, gue tertarik. Mereka bawa senjata di hutan. Itu
udah kayak di film action. Muncul harapan, semoga begitu ini kelar, badan gue
jadi kayak Rambo.
11 Juni 2012, pendidikan menwa dimulai.
Ternyata perjalanan ga semulus yang gue
bayangin. Pada minggu awal, kami ber 26 ada di markas tentara Dodik Bela Negara
yang berada di daerah Lembang. Sistem disana benar2 ketat, kedisiplinan kami
diuji. Jadwal benar2 teratur, pukul 4 kami bangun, kemudian shalat 15 menit,
kemudian pembinaan fisik (push up, sit up, lari, jalan jongkok, dsb) dengan
jaket kulit. Apa itu jaket kulit? Jaket kulit ialah jaket yang terbuat dari
kulit sendiri (maksudnya tanpa atasan). Bayangkan, jam segitu di daerah lembang
tanpa baju. Rasanya kayak direndem diserbuk es yang dicampur garem. Sedikit
kelamaan, lo udah jadi eskrim. Kemudian makan pagi dalam waktu 3-5 menit.
Abis itu, pembersihan kamar (10 menit). Kemudian materi sampe dzuhur. Shalat
dzuhur 15 menit, kemudian pembinaan fisik (pake pakaian, rasanya kayak nasi
yang di bungkus daun pisang terus dibakar #panas gan). Abis itu makan 3-5
menit. Kemudian materi sampe ashar. Shalat ashar 15 menit. Kemudian materi
sampe maghrib. Shalat maghrib 15 menit. Kemudian makan malam 3-5 menit.
Kemudian materi sampe jam 9. Habis itu pembinaan fisik (pake pakaian) dan
ditutup dengan apel malam.
Kalo cuma sehari gamasalah, itu
seminggu! Tiap materi kagak boleh ada yang mengantuk, kalo ngantuk hukuman
bervariasi. Mulai dari dijemur, sampe direndem. Mantep ga tuh?
Rasanya hal yang membuat kami nyaman benar2
dibatasi.
Kalau malam, kami harus melumasi senjata
kami dan menyemir sepatu. Selain itu, kami juga ada jadwal jaga malam yang
bergantian. So, biasanya kami tidur cuma sekitar 2-3 jam tiap harinya.
Kenapa kami patuh?
Karena setiap kelakuan indisipliner,
akan mendapat sangsi tegas. Hohoho..
Kemudian mulai minggu kedua, kami mulai
menjelajahi area area yang asing. Awalnya hanya hutan pinus yang berada di
dekat markas. Kami menerapkan ilmu taktik perang yang sudah diajarkan
sebelumnya di markas.
Aktivitas kami sudah semakin liar,
karena kami tidak lagi tidur dalam barak di atas kasur yang empuk. Tapi kami
tidur di tanah beralaskan selembar ponco. Di hutan pinus itu suhu udara gak
manusiawi. Setiap kali bangun, gue ga bisa ngerasain jari2 tangan dan kaki gue
karena membeku. #ga sampe jadi es sih.
Untungnya kami masih diberi makan, dan
terus melakukan kegiatan. Sejak keluar dari markas, kami tidak terlalu dibatasi
oleh waktu. Namun kami dibatasi oleh cahaya dan keadaan. Menyamar dan melakukan
susur hutan kami lakukan. Namun salah satu teman kami tersesat ketika melakukan
susur hutan. Untungnya, ia bertemu dengan warga daerah tersebut. Dan berhasil
meloloskan diri dari kemalangan sebelum senja tiba.
Di hari kedua di hutan, jumlah kami
berkurang menjadi 23 orang. 3 orang telah dinyatakan berpulang. Berpulang ke
universitasnya maksudnya, karena mereka memiliki tradisi menwa lain yang harus
dilakukan.
Dengan 23 orang, kami semakin menjadi
erat. Kami terus berjalan ke arah pantai dengan beberapa misi.
Mulai dari naik ke gunung tangkuban
perahu. Kemudian berjalan menyusuri kebun teh dan bermalam di antara daun teh.
Mengirim pesan di tengah malam ke dalam hutan. Kemudian masuk ke tengah hutan
yang lebih kejam dengan binatang yang lebih beragam (nyamuk, serangga yang
bikin gatal, dsb). Survival dan bertahan hidup tanpa logistik di tengah
hutan.
Cerita survive..
Ada cerita menarik waktu survival. Pada
awalnya kami memakan sisa makanan yang kami bawa. Itu sebenarnya sampah yang
akan kami buang, namun karena kami lapar. Kami putuskan mengumpulkan sisa
tulang2 ikan dan ayam dari sampah itu, kemudian kami makan meskipun rasanya
sedikit basi.
Di hari berikutnya, kami hanya memakan
batang pohon pisang, jantung pisang, dan pakis2an. Dan itu semua gak ada
energinya, cuma serat doang. Kami tidak diberi apapun untuk memasak kecuali
korek api, dan garam saat itu rasanya 1 hari sangat panjang, kami semua
tergeletak lemas dan buas. Kami sempat membicarakan untuk memasak teman atau
pelatih kami. Itu hanya bercanda ko. Namun disana kami memiliki mimpi yang sama
ketika tidur. Makanan! Gue sampe bikin list makanan apa yang akan gue makan
begitu ini kelar.
Meskipun kami lemas, kami tetap harus
sigap, setiap ada sirine kami harus segera memakai pakaian lengkap dan bersiap
pergi dari tempat itu. Jadi tidak jarang, meskipun sepatu kami basah, tetap
kami pakai saat kami tidur. Dan yang paling berat ialah saat kami harus tidur
di atas pohon dg seutas tali. Sangat menyakitkan. Gue selama beberapa jam ga
bisa tidur karena badan gue keram.
Semua ini kayak film thriller kan? Udah ada yang mimisan?
Oke, selanjutnya bukan menjadi ringan.
Kami melakukan aktivitas yang bernama longmarch. Apa itu longmarch? Long itu
panjang, march itu maret. Pasti kalian heran, apanya yang panjang? Lagian
ketika itu bulan Juni, bukan Maret.
Oke gue juga heran, tapi katanya
longmarch itu artinya jalan jauh. Kami sih nge’iya’in aja, ga tau itu bener
atau emang pembodohan massal.
Kami sudah diberi logistik, meskipun
kami harus memasaknya sendiri. Longmarch diawali dengan susur jalan raya
sepanjang 28 kilometer dalam sehari. Itu sangat melelahkan, kaki kami semua
sangat sakit dan banyak yang melepuh. Setelah melakukan longmarch kami bermalam
di hutan yang penuh dengan pohon jati. Namun, 4 dari 6 anggota kelompok saya
sakit super parah. Katanya sih ada yang semua badannya kram ga bisa di gerakin.
Ada yang bilang meriang akut, mual2 dan pusing. Ada yang bilang ga kuat buat
bangun, badannya sakit semua. Dan ada yang berada di antah berantah, kami ga
tau dimana (mungkin di ambulan).
Oke, gue bukannya sok kuat, cara jalan
gue tetep aja ngangkang ngangkang gara2 kaki gue menyatakan menyerah pada
lepuhan dan kapal. Tapi mau gimana lagi, kelompok gue tinggal 2 orang dan yg 1
cewe. Oke, kami bagi tugas. Dia yang masak buat kami berlima, sedangkan gue
bikin bivak buat teman2 gue yang keadaannya udah kayak korban perang itu. Kami
berharap mereka bisa sehat besoknya, biar ga perlu repot2 gitu lagi. Dan yang
jadi masalah utama ialah, kami berdua ga bisa masak pake kayu. Masak pake kayu
itu ga semudah yg di bayangin, soalnya kayu yg ada bukan kayu bakar. #kalo ga
percaya, coba aja.
Kami bingung dan beberapa kali
memutuskan untuk menyerah. Terutama setelah tangan temen gue terbakar. Namun,
dengan usaha yang panjang kami tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Setelah beberapa lama, selesai juga nasi dengan aroma yang sangat kami rindukan
beserta bubur mi sebagai lauknya. Hanya 3 orang dari kelompok kami yang
menikmati hidangan mewah tersebut. Sisanya dinyatakan menyerah dan angkat
senjata. Oke, bukannya kami ingin menghabiskan porsi 5 orang untuk 3 dari kami
sendiri. Tapi mereka mengatakan kalo lambung mereka mengalami bencana tsunami,
sehingga ga bisa makan. Karena demikian, kami berbagi dengan kelompok lain,
mengingat ada kelompok yang nasinya tidak matang.
Hari kedua longmarch, jarak yang
ditempuh lebih pendek. 14 kilometer menyusuri rel kereta api. Bener2 di atas
rel kereta. Jadi setiap ada sirine dan peluit, kami meninggalkan rel tersebut
untuk menyelamatkan jiwa raga kami dari bahaya mati konyol terlindas kereta.
Itu sangat melelahkan. Untungnya, selama kami melintasi rel, kami melihat
hamparan sawah sejauh mata memandang. Rasanya menenangkan, dan angin berhembus
sepoi sepoi. Itulah satu satunya hiburan buat gue yang membuat gue bersemangat
melanjutkan dan menahan rasa lepuh telapak kaki gue.
Kami sampai di suatu desa bernama Desa
Cilamaya. Dan kami menginap di samping kuburan. Yah benar, kami secara teknis
berada di kompleks pemakaman. Namun ruang gerak kami terbatas pada area yang
kosong dan belum ada kuburannya. Menurut gue, tempat itu cukup lumayan enak
dibandingkan hutan karena ada mushala dan air bersih. Namun, ketika malam
menjelang pikiran gue berubah. Nyamuk2 disana sudah mulai brutal. Mungkin
karena kami sudah berada di dataran rendah yang cukup hangat bagi keluarga
besar nyamuk untuk lestari.
Ada cerita sedikit.
Setelah kami sampai, pelatih melakukan
shalat di mushala. Dan ada yang meninggalkan sampah teh kotak. Setelah mereka
pergi, salah satu teman gue memungut sampah itu dan ternyata masih tersisa separuh
dari isinya. Itu seperti harta karun. Kebetulan ada 3 orang di sana, dan gue
salah satunya. Pada saat itu gue mendapat sebagian, dan merasa seperti meminum
minuman surga. Jadi terbukti, lauk yang paling enak ialah rasa lapar, dan
minuman paling nikmat ialah dahaga.
ini gue... :p |
Oke, lanjut ke cerita gue ketika di
pantai..
Kami diminta masuk ke rawa2. Airnya saat
itu se pinggang kami, ehm, maksudnya sepinggang gue (masalah tinggi ini rada
sensitif). Yang jadi masalah ialah, kami juga diminta membenamkan diri,
seolah-olah ada serangan udara. Padahal kami saat itu mengenakan perlengkapan
lengkap. Alhasil, tas, dan pakaian cadangan kami basah semua. Ssssttt, tapi
karena gue paling belakang, gue bisa curi2, sehingga tas gue masih bisa selamat
dari bencana.
Oke, kami udah basah, dan cukup asin.
Kalo di jemur mungkin kami udah bisa jadi ikan asin, atau bahkan terasi. Namun,
kaki kami yang semula sangat sakit, manjadi tidak terlalu sakit dibandingkan
sebelumnya. Inilah Power of Air Asin. Kemudian kami berjalan, berjalan, dan
berjalan, sehingga badan kami cukup kering, dan kemudian bermalam di
pematang tambak (jalan sempit diantara tambak ikan).
Angin cukup besar di sore hari, dan
menurut kami tempat itu cukup nyaman meskipun air yang ada semuanya asin.
Namun, hal yang mengerikan terjadi setelah senja dan mentari terbenam. Angin
menjadi lembut dan lemah. Muncullah sekeluarga besar nyamuk nyamuk penghisap
sapi. Kenapa sapi? Itu karena gigitan nyamuk itu sangat kuat. Gigitannya dapat
menembus pakaian, dan begitu menggigit, rasanya seperti ditusuk jarum kasur (
tau jarum kasur ga? Search di google dah). Selama semalam, kami terpaksa
melakukan donor darah pada nyamuk nyamuk betina yang ingin bertelur itu (nyamuk
yang menghisap darah itu cuma nyamuk betina lho, buat ngasih nutrisi ke
telurnya). Oke, di sana kami benar benar mengerti dan merasakan apa yang
dimaksud dengan ungkapan ‘Mati satu tumbuh seribu’.
Kami semalaman melakukan perjuangan yang
sungguh berat.
Begitu matahari muncul, mereka kabur.
Itulah kenapa vampire takut sama matahari, karena nenek moyang vampire adalah
nyamuk, atau nenek moyang nyamuk adalah vampire ya? (Bingung sendiri)
Kemudian kami melakukan yang namanya PKP
dan Balik Perahu. Ini baru benar benar menyenangkan. PKP itu Pemancangan Kaki
Pantai, ga usah di tanya kenapa namanya bisa gitu. Gue juga ga ngerti. Tapi
kami benar2 naik perahu, dayung ke tengah laut, balik perahu, masuk kelaut,
balik ke pantai, kemudian melakukan konsolidasi. Keren deh, intinya kami (gue)
menikmati itu semua. Begitu senja kami bermalam di tempat yang sama seperti
sebelumnya. Namun kami telah mengerti bagaimana melawan nyamuk kopasus itu. Gue
tidur dengan berbungkus ponco warna hijau, seperti lemper.
Tengah malamnya kami dibangunkan,
melakukan perjalanan ke suatu tempat. Digiring melalui pematang hanya dengan
cahaya bulan dan bintang. Beberapa kali gue terperosok . Dan kami benar2 di tekan malam itu.
Harus melakukan kegiatan fisik, seperti merayap, jalan jongkok, merangkak, push
up, sit up, hingga benar2 lelah. Satu dari teman kami tumbang sebelum garis
akhir. Begitu di garis akhir, kami melihat kobaran api. Bukan, bukan, kami
bukan mau dijadikan barbeque. Itu merupakan symbol bahwa kami sudah
menyelesaikan rangkaian pendidikan dan latihan dasar menwa. Kami dilantik saat
itu. Semua rasa sakit, rasa marah, dan lelah hilang berganti dengan sukacita
dan harapan. Kami melawan rasa sakit, rasa takut, rasa malas, dan melawan diri kami
sendiri dengan sangat keras.
Begitu ini semua selesai, gue sendiri merasakan ada sesuatu dalam diri gue yang berubah. Fisik jelas
berubah, namun buat gue mental jauh lebih berubah. Karena disana mental kami benar benar dibentuk.
Itulah cuplikan dari perjalanan menwa
gue...
Sebelum kalian berkesimpulan bahwa menwa
itu kejam, dan sia sia, gue bakal menyanggahnya. Emang sih kejam, namun itu ga
sia2. Gue jadi mengerti yang dimaksud tekad tidak pantang menyerah,
kekeluargaan, toleransi, kedisiplinan, percaya diri, keberanian, dan yang
paling penting gue belajar untuk komando. Komando itu melakukan sesuai yang
diperintahkan. Manusia diperintahkan Tuhan untuk hidup dengan baik dan
bermanfaat, maka sebagai manusia gue bakal hidup dengan baik dan bermanfaat. Dan
kalo aja negara ini benar2 komando, maka hal-hal seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme ga bakal terjadi.
Itu aja post gue, gue berharap semoga
kalian baik2 aja.
Dadaaaaahhh.
Sumber : http://iasazhary.wordpress.com/
Beneran ta menwa seperti itu ?
BalasHapus