Tak ikut ku kubur rasa ini
26.
Desember 2010, 06.00 WIB
Pagi itu…
Aku menggerang kesakitan tak karuan,
Darahku seolah beku. Mataku sayu menahan sakit dalam dadaku. Suaraku
menghemparkan isi rumah. Ayah
memanggil-manggil namauk.
“Tiara… Tiara …,” ayah panik
mendengar suara eranganku yang semakin keras. Aku tidak bisa menjawab
apa-apa. Aku hanya mengerang terus
kesakitan. Yang akhirnya membawaku terlelap dan terbaring di rumah sakit ini..
Ibuku menangis melihat tubuhku dibaringkan tak berdaya diatas ranjang UGD. Kejadian Ini membuat ayah, ibu dan kak Zafran shock.
Dari kecil hingga umur 18 tahun ini.
Aku memang hampir tidak pernah sakit, paling hanya flu atau batuk biasa. Tiap kali aku melakukan cek rutin ke Dr.
Herry, beliau selalu menjawab, “anti body kamu kuat Tiara, kamu sehat.”
Ya… memang sehat ragaku. Tapi tidak
dengan hatiku. Aku menguatkan diri menahan perasaanku. Perasaan tulusku pada Angga. Nama yang telah
aku simpan sejak pertama kali aku
bertemu denganya di kelas III B SMPN
1 Surabaya. Dia yang pertama dan mungkin akan jadi yang terakhir dalam
hidupku.
28
Desember 2010, 12.00
Aku koma, sudah dua hari aku tak
sadarkan diri. Keluarga besarku berkumpul menjengukku. Seolah menemaniku dalam
detik-detik terakhirku.
Dokter tak bisa menyebutkan
penyakitku Diagonasnya semu. Hasil pemeriksaan menunjukkan aku tak sakit apa-apa.
“anak ibu bermasalah dengan
hatinya,” kata dokter . ibuku terdiam dan menahan isaknya.
“tim dokter tidak menemukan penyakit
apa-apa dalam tubuhnya, tapi Tiara seperti mengalami tekanan. Ia seperti sedang
menahan perasaan atau mungkin sesuatu yang ingin dia ungkapkan.” jelas dokter.
Ibuku semakin tak bisa membendung
tangisnya.
Ia sedih melihat
kondisiku yang tak pasti. Seperti katak
dalam tempurung, hidup segan maatipun tak mau.
Andai aku tersadar, aku benar-benar
ingin mengungkapkan rasa sayang dan cintaku pada Angga. Aku tak peduli apa jawaban tiara. Karena aku memang tak membutuhkan itu. Aku
hanya ingin mengunkapkan perasaan yang telah kupendam selama bertahun-tahun.
29
Desember 2010, 09.00
Aku msih ingat, seminggu yang lalu
aku mendengar kabar tentang rencana pertunangan Angga dengan Maya, kekasihnya.
Hatiku sakit, perasaanku sia-sia…
Andai aku laki-laki, mungkin takkan
kudiamkan perasaan ini. Mungkin takkan pernah ada rasa malu untuk
menyatakanya. Tapi aku perempuan,… aku
terlalu malu. Terlalu tinggi aku membangun harga diriku. Dan akhirnya aku memilih diam, walau akhirnya
aku tak kuat !!!. ingin rasanya aku berteriak agar semua orang tau betapa
dalamnya perasaanku pada Angga. Meskipun teriakanku takkan mengubah apa-apa.
Aku hanya ingin merasakan hidup tanpa beban, tanpa menyembunyikan perasaan..
30 Desember 2010, 22.00 WIB
Ibuku menyesal, Ia merasa tidak bisa
menjadi ibu yang baik untukku. Kak Zafran
terdiam, memang dia yang mengerti isi
hatiku. Selama ini aku tumpahkan isi hatiku kepadanya. Meskipun dia kakak laki-laki yang penuh
dengan kesibukanya. Tapi dia selalu mau mendengar keluh kesahku.
Angga…..
laki-laki yang selau membuatku bersemangat ke sekolah dan ke kampus.
Ketika ayah memilihkan SMA unggulan untukku, aku malah meilih sekolah lain
mengikuti Angga. Saat aku berhasil menembus UMPTN, aku rela melepaskanya demi Angga. Meskipun ketika itu ayah marah dengan
keputusanku. Cinta memang buta, akupun
enggan membuka hatiku untuk orang lain.
1, 2,
3, Teman laki-lakiku mulai
mendekatiku. tapi bayangan Angga seolah berkata, “jangan.. jangan…,” akupun membiarkan diriku sendiri, menikmati Angga
dari kejauhan.
31 Desember 2010, 18.00 WIB
Aku memanggil nama Angga dalam
komaku. Aku sakit,… tubuhku tak kuat lagi. Apalagi hatiku, ini benar-benar akhir hidupku. Aku tak mau mati bersama perasaanku. Aku
ingin bertemu Angga.
“Angga … Angga …..,” aku memanggil
nama Angga berulang-ulang. Ayah dan ibuku bingung, siapa Angga. Karena aku memang tak pernah bercerita
apa-apa kepada mereka. Dokter mencoba menenagkanku. Tapi aku tetap tak bisa tenang. Aku hanya
ingin bertemu Angga.
Kakaku keluar kamar, ia pasti tau apa yang harus dilakukanya. Beberapa jam aku menunggunya. Perjuanganku untuk Angga sebelum nafasku
menghilang. Hingga akhirnya … lelaki
berparas tampan itu berada tepat
disampingku. Matanya menitikan
airmata melihat kondisiku. Kakak mungkin telah menceritakan semuanya.
“kamu harus bertahan, Tiara…
Buatku,” ucapnya.
Bertahan buat dia?
Sementara dia akan hidup bersama kekasihnya.
Tapi aku tetap tak bisa membencinya.
Karena aku memang tulus mencintainya.
Aku lebih bahagia jika melihat dia pun bahagia. Meskipun tidak denganku.
“Allah.. jangan ambil nyawaku dulu,”
doaku dalam hati.
Itu kata terakhir yang mampu
kucapkan, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Bibirku tertutup rapat, aku raih kertas putih di samping mejaku. Semua orang memperhatikanku,
kak Zafran memberikanku bolpoin merah. Aku tersenyum padanya. Kak Zafran,
kakakku yang selalu mengerti aku.
Aku kuatkan jemariku menulis huruf
demi huruf, ‘I Love You … Angga’
hanya satu kalimat itu yang dapat
ku tulis. Bolpoinku terjatuh. Nafasku hilang bersama perasaan legaku. Aku tak
tahu kini aku dimana.
Hanya tangisan yang mengantar kepergianku
bertemu Allah, satu hal yang
menenagkanku dalam tidur panjangku. Aku bahagia, persaanku tak ikut
terkubur bersama jasadku.
Dan
cintaku pada Angga… ibarat kuku tangan dan kakiku, meskipun terpotong , tetapi
cintaku akan selalu tumbuh..
Komentar
Posting Komentar