Pertanyaan Mendasar Buat Atheis

Bila di dunia ini segala suatu secara KESELURUHAN nya bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera dan kemudian bisa di ukur dan diterangkan secara pasti dan terukur oleh metodologi sains ,maka masihkah manusia merasa perlu untuk menela’ah kitab suci ?

Bila didunia ini segala suatu secara KESELURUHAN nya bisa ditangkap-difahami dan diterangkan oleh logika akal yang bertumpu pada sebab akibat yang masih bisa ditangkap oleh pengalaman dunia inderawi (logika dialektika material),maka masihkah manusia merasa perlu untuk menela’ah kitab suci ?

Karena dalam kehidupannya manusia dari berbagai bangsa-golongan diseluruh pelosok bumi menemukan banyak hal yang tidak bisa ditangkap-di ukur dan diterangkan oleh metodologi sains yang serba pasti dan terukur,dan menemukan banyak hal yang tidak bisa diterangkan oleh logika akal yang bertumpu pada sebab akibat yang masih bisa ditangkap oleh pengalaman dunia inderawi,maka bukankah suatu yang rasional bila manusia mencari cari jawabannya dalam kitab suci (?)

Karena dalam peri kehidupannya manusia diseluruh pelosok bumi mengalami berbagai pengalaman dan permasalahan spiritual-batiniah-kejiwaan yang tidak bisa diselesaikan secara pasti dan terukur oleh metodologi sains yang serba pasti dan terukur serta tak bisa diselesaikan oleh metodologi cara berfikir akal yang bertumpu pada sebab-akibat yang masih bisa ditangkap dan difahami oleh pengalaman dunia inderawi (sebab akibat materialist) maka bukankah suatu yang rasional bila manusia mencari jawabannya pada kitab suci (?).

Bila saya sudah mengungkapkan fakta seperti ini masihkah rasional bila ada kelompok - golongan manusia yang ngotot ingin menjadikan parameter sains sebagai hanya satu satunya parameter kebenaran dalam menilai dan mengukur segala sesuatu ?

Bila saya sudah mengungkapkan fakta seperti ini masihkah rasional bila ada kelompok manusia yang ngotot ingin menjadikan parameter cara berfikir logika yang bertumpu pada sebab-akibat materialist sebagai satu satunya parameter kebenaran dalam menilai dan mengukur segala sesuatu ?

Apakah manusia belum juga mengerti bahwa Tuhan menurunkan kitab suci justru untuk memberi jawaban terhadap apapun yang sudah tidak bisa diukur serta tak bisa dijawab oleh parameter sains serta cara berfikir akal yang bertumpu pada logika dialektika materialistik ?

Bila segala suatu di dunia ini bisa ditangkap-dinilai-diukur-dijawab oleh parameter sains serta oleh cara berfikir akal yang bertumpu pada kekuatan pengalaman dunia inderawi maka apa peran agama bagi manusia ?

Ateis ada yang ngotot ingin melenyapkan peran agama ditengah pesatnya perkembangan sains serta makin canggihnya pemikiran bebas spekulatif manusia,padahal justru ditengah pesatnya perkembangan ilmu materi (sains) dan pesatnya pemikiran bebas spekulatif itu manusia selalu berhadapan dengan hal hal yang tidak bisa ditangkap-diukur-dinilai serta dijawabnya.

Jadi hal hal yang tak bisa ditangkap-diukur-dinilai dan dijawab itu tidak hanya ditemui oleh orang biasa dari berbagai pengalaman hidup mereka sehari hari tapi juga dialami oleh berbagai ilmuwan-pemikir dari berbagai disiplin keilmuan kala mereka menggeluti bidang kajian yang mereka hadapi.hanya kemudian diantara mereka ada yang memilih bersandar atau mencari jawabannya kepada kitab suci dan ada yang memilih berspekulasi dengan pemikiran bebas spekulatif nya sendiri..

Ateis sering melecehkan agama dengan berbagai stigma negative misal menganggapnya sebagai,’ dogma yang berasal dari masa lalu’,’suatu yang tidak berdasar ilmu,’suatu yang hanya ajaran moral’ dlsb. dan seolah ingin menjadikan parameter yang berasal dari dunia sains dan filsafat sebagai satu satunya parameter kebenaran,tetapi fakta menunjukkan bahwa keduanya hanya bisa digunakan pada obyek-wilayah yang terbatas dan sama sekali tidak bisa menjawab permasalahan keilmuan-problem kebenaran yang bersifat mendasar-kompleks dan menyeluruh,misal hal hal yang menyangkut masalah hakikat dan makna-hikmat dari segala suatu yang ada dan atau terjadi.

Ateis sudah bisa menemukan sesuatu yang bisa menjawab seluruh persoalan yang ditemui manusia (?), sehingga mereka dengan percaya dirinya ingin menyingkirkan peran agama dalam menjawab segala persoalan yang ditemukan manusia ?

Atau ateis merasa sudah mengetahui rahasia hakikat dan hikmat dari segala suatu yang ada dan terjadi (?) sehingga mereka dengan percaya dirinya ingin menyingkirkan peran agama dalam menjawab segala persoalan yang ditemukan manusia (?)

Atau ateis menyangka bahwa hakikat dan hikmat dari segala suatu yang ada dan terjadi itu bisa ditentukan oleh manusia (?) atau mereka tidak peduli dengan persoalan itu dan hanya peduli dengan hal hal yang sebatas bisa ditangkap dan difahami oleh pengalaman dunia inderawi (?)

Faktanya dalam perdebatan mereka seolah selalu mempermasalahkan hal hal yang serba bersifat teknis seperti faktor ‘fakta-bukti empirik’ walau ‘fakta’ yang mereka ajukan atau permasalahkan terkadang rancu karena tercampur baur dengan ‘teori’,sehingga terkesan sulit membedakan antara ‘fakta’ dengan ‘teori’ yang memang untuk  mengungkap kebenaran hal itu wajib dipilah dan dibedakan secara tegas.

Dan mencampur adukan pengertian ‘teori’ dengan ‘fakta’ juga bisa berbahaya sebab bisa menimbulkan fitnah besar yang membuat agama dan realitas nampak berbenturan,contoh : ateis tertentu mungkin ada yang ingin memaksakan agar teori ‘manusia purba’ atau teori ‘manusia kera’ untuk dianggap sebagai fakta,padahal itu jelas sebuah fitnah ilmiah,sebab semua yang berhubungan dengan ‘manusia purba’ atau ‘manusia kera’ adalah baru hanya sebatas teori bukan ? artinya bukan sesuatu yang sudah merupakan fakta dengan bukti empirik yang 100 persen autentik seperti bukti autentik mummi Fir’aun.

Artinya mereka seperti tidak mau mempermasalahkan faktor ‘hakikat’ apalagi yang lebih dalam lagi : makna-hikmat dari segala suatu yang ada dan atau terjadi,sebagaimana para filsuf klasik masih mempermasalahkannya padahal ujung atau muara dari problem kebenaran justru akan bersinggungan dengan hal hal yang bersifat mendasar seperti masalah ‘hakikat’ dari segala suatu yang ada atau terjadi.

Sebab problem ‘hakikat’ dan ‘hikmat’ justru adalah problem inti atau essensi atau saripati dari seluruh realitas yang ada atau terjadi yang ditangkap oleh pengalaman dunia indera manusia,dimana hal demikian pula yang lebih ditekankan oleh konsep ajaran agama.

Sehingga perbedaan mendasar antara konsep agama dengan ateisme adalah yg satu lebih orientasi ke essensi-ke saripati dan yang satu lebih orientasi ke ‘permukaan kulit luar’.


Komentar