Remaja 68 - Pengalaman Ngaji dan Fitnah Media
Kurang lebih
delapan tahun yang lalu di saat aku mulai memasuki hari pertama di salah satu
SMK negeri di Lampung, SMK Negeri yang bersebelahan dengan Universitas Negeri
juga. Dan aku pun satu kos dengan teman-temanku yang kebetulan dua orang
temanku satu kampung, dua orang tetangga kampung, satu orang lagi tetangga
kabupaten. Kami berenam ngekos karena kampung kami jauh dari sekolah. Selang
berapa bulan kami sekolah, dan kami pun aktif pergi Masjid Ar-Raudhoh Kampung
Baru untuk menjalankan kewajiban shalat. Kami pun bertemu dengan seorang kakak
mahasiswa, dan kami pun mengobrol dengannya. Setelah cukup lama ngobrol,
tiba-tiba kakak tersebut menawarkan mau mengajari kami ngaji. Dan dengan senang
hati kami pun tertarik dengan tawarannya.
Pertemuan
pertama pun dilaksanakan di kosan bersama teman-teman pada malam hari ba’da
isya mengaji mengisi waktu luang anak kos. Namun, apa yang terjadi? Pagi-pagi
sekali ba’da subuh kami mendapat teguran sama bapak kos, beliau tidak mengijinkan
di kosan ada agenda pengajian tanpa memberikan alasan yang tepat kepada kami.
Karena lugunya
kami, karena kemarahan bapak kos tanpa adanya sebuah alasan yang membuat kami
tidak faham, di minggu ke dua kami adakan pertemuan lagi. Tapi apa yang
terjadi?
Waktu itu hari
Sabtu sepulang kami dari sekolah, ternyata kami telah ditunggu-tunggu oleh
bapak dan ibu kos mau disidang. ”Rinto (teman kosan tertuau), semua ke sini
kalian! Kalian ini bandel ya, siapa yang beri izin kalian ngaji lagi?” Dengan
nada yang amat garang bapak kos (watak seorang scurity) memanggil kami, seperi
darah marinir pun mengalir pada beliau. ”Maaf pak, semalam kami sudah izin ke
ibu,” jawab Rinto sekenanya. “Oo jadi ibu yang beri kalian izin ngaji, saya
pecahin kepalamu Mah!” bapak kos marah dengan serius. Diarahkan benda keras
yang menyerupai palu itu ke kepala ibu. Kami pun seraya teriak ”Jangan, pak..,
jangan!” sambil memegangi tangan bapak kos. Alhamdulillah tak sampai mengenai
kepala ibu.
Dan kami pun
telah membuat kesepakatan untuk tidak mengadakan pertemuan ngaji lagi. Bapak
kos memberikan alasan, tetangga curiga kalau kami ikut sebagai jaringan
teroris. Karena kala itu, masih hangat-hanyatnya di berbagai media tentang
teroris, dan media pun menyebutkan bahwa ciri-ciri jaringannya itu seperti
bergerombol, perkumpulan-perkumpulan meski itu agenda ngaji dan lain-lain. Dan
telah menjadi peraturan di kampung kos kami, di berbagai kosan, pelajar atau
mahasiswa dilarang melakukan hal-hal yang menyerupai apa yang telah diberitakan
di media-media. Kami pun tak bisa berbuat apa-apa. Dan kami pun putus kontak
dengan kakak yang mengajari kami. Sehingga kami waktu itu merasa cukup, cukup
kalau hidup sudah bisa shalat lima waktu, cukup bisa membaca Al-Qur’an. Tidak
tahu-menahu dengan kewajiban dakwah.
Singkat cerita
di tahun 2007, akhirnya kami semua lulus sekolah, selesai sekolah kembali ke
kampung masing-masing.
Beberapa bulan
di kampung saya masih menganggur sedang menunggu panggilan kerja. Kebetulan
waktu itu saya diundang untuk menghadiri pertemuan RISMA. Ternyata di kampung
saya ada penggerak atau pelopor membentuk sebuah program “MENTORING”. Pikir
saya sambil mengisi aktivitas di rumah saya mengikuti agenda-agenda tersebut.
Waktu terus
berjalan, pertemuan demi pertemuan saya semakin berpikir agenda mentoring
ini sama persis seperti agenda ngaji waktu di kosan dulu. Akhirnya saya
bercerita dengan guru saya kejadian tentang masa laluku ngaji di kosan, yang
beliau juga mahasiswa dari Universitas Negeri juga. Ternyata programnya sama
yang dinamakan “Liqo’at”. Saya baru tahu kalau ini liqo’at.
Dan sedikit
merasa ada penyesalan kenapa liqo’at tidak berlangsung sejak dulu saya masih
SMK. Karena ternyata program mentoring atau liqo’at menjadikan perubahan besar
pada diri, perubahan positif bagi saya. Mengetahui tujuan hidup. Tidak sekedar
shalat-shalat saja sudah merasa baik. Tapi saya menjadi tahu kalau menuntut
ilmu itu wajib dari belaian ibu sampai ke liang lahat. Saya menjadi tahu dakwah
(menyampaikan kebenaran) menegakkan kalimatillah itu wajib. Dan kini
menjadi Agent of Change (Agen
Perubahan). Tidak hanya mengubah diri pribadi menjadi lebih baik, tetapi
mengajak orang-rang di sekitar kita untuk berubah menjadi lebih baik dan
mencari predikat “Khairu Ummah”. Yuk ngaji, yuk ikut MENTORING!!!
Ø By: Eko Warsiyanto
Ø ~True story by Ikhwan Perindu Syahid~
Komentar
Posting Komentar