Masih Merasa Sok Suci ?

Terngiang pesan dan nasehat dari seorang kakak tingkat yang beberapa pekan lalu saya kunjungi. Berangkat dari rasa rindu karena sudah lama tidak bersua, kakak tingkat yang unik, tampilannya yang dianggap “jadul” oleh sebagian orang, namun memiliki argumentasi indah dan menyentuh, pola pikirnya yang kritis namun membangun, itulah yang membuat saya merindukannya.

Dan pada suatu ketika, membahas fenomena ikhwan akhwat yang akhirnya jatuh dalam kasus vmj. Bahasan lama sebenarnya, bukan bermaksud untuk mengatakan ini salah itu salah atau kebalikannya, namun yang menjadi fokus pertanyaan saya adalah, kok bisa itu terjadi?
Lalu, dijawab dengan enteng oleh kakak tingkat tersebut..
“itu mungkin karena mereka merasa sok suci..”

Awalnya saya terdiam, merasa tidak setuju, namun, mendengar penjelasan beliau barulah saya pahami maksud jawabannya tadi. Ya, sering sekali ditemui, mereka-mereka yang dulu “kaku”, menganggap rendah atau menjauhi orang-orang atau rekan sesama aktifis yang jatuh bermaksiat atau khilaf, yang lantang meneriakkan kebenaran, justru akhirnya digilir menjadi orang-orang yang melakukan penyimpangan serupa. Mungkin masih akan menjadi kontroversi, ada yang pro dan ada yang kontra. Memang tidak semua, saya yakin masih ada orang-orang yang menyuarakan kebenaran namun tetap teguh dengan prinsip-prinsip yang diusungnya, lalu kenapa ada yang berubah menjadi kebalikannya, yang pada akhirnya melakukan penyimpangan-penyimpangan yang dulu dibenci bahkan dianggapnya hina.
Ada fenomena di beberapa kampus, sosok-sosok yang terkenal shalih dan shalihah memiliki idealisme yang kadang dianggap sebagian orang terlalu kaku bahkan untuk orang-orang yang juga masih terlalu awam dalam hal agama. Contohnya pemanggilan nama “akhi, ukhti..”, ada pula beberapa yang anti bahkan terkesan merasa tidak dimuliakan ketika dipanggil demikian, dengan alasan panggilan tersebut cenderung melenakan dan merayu.. Ada pula yang menganggap akhwat yang shalihah itu adalah akhwat yang jilbabnya polos, bergamis, tidak berdandan, tidak menggunakan wedges dan memilih warna-warna gelap untuk menghindari ketertarikan dari kaum pria. Dan tentu masih banyak lagi kita temui. Memang tidak salah, bagi saya pribadi pun itu bukan hal yang salah, namun akan menjadi salah ketika hal tersebut menjadi paramter kita dalam menentukan keimanan seseorang atau baik buruk nya seseorang. Termasuk dalam hal cinta terhadap lawan jenis.
Seperti ditulisan saya sebelumya, saya pernah membahas akan kondisi orang-orang yang dulu merasa antipati atau tidak simpati bahkan jatuh pada merendahkan sesama rekan aktifis nya yang sedang diuji dengan perasaan cinta. Pernah tidak sengaja saya mendengar beberapa akhwat mengghibahi akhwat lain yang sedang dekat dengan ikhwan lain, terdengar kata-kata
“ih, aku ga nyangka ya dia kaya gitu..”
“padahal dia qawwy loh..”
“amit-amit deh..”

Dan masih banyak lagi.
Ada seorang akhwat yang pernah bercerita bahwa ia pernah jatuh dalam kondisi demikian, karena masih dengan idealisme nya yang menganggap bahwa ikhwan atau akhwat aktifis dakwah dilarang melakukan hal tersebut, tidak boleh saling mencintai kecuali kalau sudah menikah. Namun, akhirnya allah menguji nya dengan ujian yang serupa, dan tidak lama dia disadarkan bahwa dia tetap manusia biasa yang tidak bisa menolak rasa cinta itu hadir. Untungnya allah cepat menyadarkan nya sehingga dia tidak berlama-lama dalam kondisi cinta yang sedang labil-labil nya.
Ya, kondisi-kondisi dimana kita merasa diri kita tidak akan jatuh dalam maksiat atau tidak ada celah untuk jatuh dalam kekhilafan yang menurut pandangan kita adalah hal remeh/sepele adalah kondisi yang sebenarnya justru harus kita waspadai. Karena sebenarnya kita tidak pernah mengetahui kualitas keimanan dan ketahanan diri kita sebelum kita diuji dengan ujian yang serupa. Mungkin hal itu lah yang melatarbelakangi kakak tingkat saya menjawab pertanyaan saya dengan jawaban seperti di atas. Dan mungkin fenomena yang terjadi oleh beberapa aktifis dakwah yang akhirnya memilih untuk menjalin hubungan seperti itu karena diawali dengan kekakuan sikap yang justru membuat nya di gilir dengan ujian yang serupa.
Ah, sampai disini saya tidak bisa berkata-kata. Kadang tidak sadar kita menjadi bagian dari penyeru-penyeru kebenaran yang jatuh pada hal tersebut. Mungkin ada pula yang lupa, bahwa ujian itu bisa menimpa siapa saja, bahkan kita. Kita tidak bisa memprediksi ujian yang akan datang, dan kita juga tidak tahu bagaimana kondisi kita ketika mengalami ujian yang dulu sangat kita takuti dalam kehidupan kita. Ya, aktifis dakwah pun manusia, namun bukan berarti melegitimasi apa-apa saja yang tidak baik dimata syariat. Dan tentu tidak bijak pula menyalahkan sesuatu yang tampak tidak indah dimata dan hati kita dengan membabi buta.
Adalah baiknya untuk menyikapi hal-hal diatas dengan proposional, mampu memposisikan diri terhadap lingkungan sekitar, jangan pula terlalu kaku yang justru akhirnya membuat dakwah kita justru mental, tetaplah berpegang denga prinsip namun jangan lah menjelekkan orang-orang yang memiliki prinsip yang masih jauh dibawah kita, dan jangan pula menghakimi orang-orang yang khilaf sedangkan kita memiliki potensi yang sama untuk melakukannya. Benarlah kiranya, berkatalah yang baik atau diam. Itu lebih selamat.

Cukuplah menjaga diri kita dengan berdo’a kepada allah agar kita dihindarkan dari kondisi yang tidak baik dan diistiqomahkan atas prinsip-prinsip kita yang teguh memegang aturan syari’at, dan mendo’kan sesama rekan perjuangan yang sedang diuji agar kembali tersadar dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumya tentu tidak lupa terus mengingatinya dengan bijaksana dan penuh kelembutan.dan tidak perlu mengumbar aib nya ke banyak orang, karena sama saja seperti memakan bangkai saudara sendiri, tentu merasa jijik bukan?

Mari, selamat berbenah dan terus belajar.. Kita bukanlah hakim, kita adalah pemain dan sutradaranya adalah allah. Bermainlah dengan peran yang baik agar akhir dari peran yang kita mainkan pun berbuah yang baik..
Wa amitha ‘ala syahadati fii sabilik ya raabb.. 


Komentar

Posting Komentar