Bid’ah Hasanah, itu yang bagaimana ya ?
Apakah semua Bid’ah itu sesat ???
Oleh: Syariful Mahya Lubis
Sejumlah
jawaban direkayasa, dan sejumlah dalilpun dipaksakan, demi melegalkan Bid’ah,
dan demi memberanikan orang melakukannya, serta demi memuaskan syahwat dunyawi.
Pertanyaan
diatas terkait langsung dengan Islam, yang oleh karenanya membutuhkan jawaban
yang merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber kebenaran dalam Islam,
jawaban-jawaban yang hanya bersifat logika, tidak akan dapat menguak kebenaran
dalam permasalahan Islam, sebab selogis apapun sebuah jawaban, tetap saja ia
spekulasi relatif, yang sudah pasti dapat dipatahkan dengan hal yang sama,
lebih-lebih apabila jawaban-jawaban logis tadi kontaradiktif dengan dalil-dalil
yang Syar’i.
- Definisi Bid’ah
Nabi saw
bersabda: siapapun yang melakukan Amal yang tidak ada perintah kami atasnya,
maka Amal tersebut tertolak (tidak diterima). (hr: Bukhari & Muslim dari
‘Aisyah ra). Beliau juga bersabda: setiap –ibadah-yang baru adalah
Bid’ah.(hr: Muslim, Ahmad dan Ibn Majah dari Jabir ra) Beberapa hal dapat
disimpulkan Berdasarkan kedua Hadits diatas:
- Berarti Bid’ah adalah setiap amal yang diasumsikan sebagai ibadah, namun tidak didukung oleh adanya perintah, baik dalam Hadist, maupun Al Qur’an.
- Amal yang dimaksud bersifat umum tanpa pengecualian, karena bentuk kalimatnya adalah Nakirah yang didahului kata Syarat, bararti ia mencakup seluruh amalan hati, amalan lisan, dan amalan dalam bentuk tindakan yang tidak didasarkan kepada wahyu namun dinilai ibadah.
- Dari kalimat amal tersebut, dapat disimpulkan bahwa segala hal yang sifatnya dunyawiah, ataupun yang sifatnya sarana amal, tidak dapat dikategorikan Bid’ah.
- Bentuk Bid’ah
Bid’ah memiliki dua bentuk:
Bid’ah Haqiqiyah: yaitu Bid’ah
yang bersifat total dan menyeluruh,à
Contoh: melakukan puasa akhir tahun, yang sama sekali tidak disinggung oleh
dalil.
Bid’ah
Idlafiyah: yaitu Bid’ah yang bersifat nisbi, dimana sisià keBid’ah-annya hanya dari sudut pengkhususan
cara tertentu, waktu tertentu, jumlah tertentu, jenis tertentu, tempat
tertentu, dan pengkkhususan sebab tertentu, contoh: perintah untuk berdzikir
dalam Ayat dan Hadits bersifat global, lalu kemudian direkayasa sebuah cara
tertentu-berjamaah-. Perbedaan
bentuk Bid’ah tersebut tidak berarti menghilangkan status kesesatannya, karena
keumuman dalil-dalil yang melarang Bid’ah , meskipun bentuk Bid’ah tersebut
menentukan tingkat kesesatannya.
- Status Bid’ah
Nabi saw
menstatuskan Bid’ah melalui Hadits-Hadits beliau dengan satu kata: Dlalalah
–sesat-(ضلالة). Kata
“sesat” mengandung makna yang umum, sehingga ia mencakup yang haram dan yang
kufur, berarti hukum Syar’i terkait Bid’ah hanya berkisar antara haram dan
kufur.
Imam Al
Qarafi menyatakan bahwa Bid’ah adakalanya Wajib, Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah,
sesuai tujuan pelakasanaan dari Bid’ah tersebut. (Al I’tisham. As Syathibi
2/297. lihat pula Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam. Al ‘Izz bin Abdus Salam
2/380. ), dengan kata lain; jika Bid’ah mendukung hal yang wajib maka berarti
Bid’ah tersebut hukumnya wajib seperti pembukuan Al Qur’an dan seterusnya…. .
Namun
hasil ijtihad Al Qarafi tersebut perlu dikritik secara sehat dan Ilmiyah,
mengingat “sesat” dalam terminology Ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits selalu
dikontrakan dengan Hidayah seperti dalam ayat 175 Al Baqarah, 23 Az Zumar dll,
terlebih lagi keumuman pernyataan Nabi saw: semua bid’ah sesat .
Sehingga
baik dari aspek makna ethimologis dari kata “sesat”, maupun dari aspek
pengkontra-annya dengan hidayah, menunjukkan bahwa klasifikasi Bid’ah yang disinyalir
oleh Al Qarafi tersebut mengandung kelemahan, apakah rasional: Bid’ah yang
telah distatuskan Nabi saw dengan sesat, lalu masih di klasifikasi menjadi
wajib, Sunnah, hasanah dll???.
Adapun
pembukuan Al Qur’an,...
maka sesungguhnya telah dilakukan di zaman Nabi saw
melalui sejumlah Sahabat yang terlibat dalam satu tim yang beranggotakan enam
orang seperti Ali bin Abi Tahlib, Mu’awiyah dll, sementara bid’ah adalah hal
yang belum ada dizaman nzbi saw.
Sepertinya
contoh pembukuan Al Qur’an tersebut tidak terlalu kuat untuk mendukung langkah
kategorisasi yang ditempuh oleh Imam Al Qarafi.
Ada
kemungkinan Al Qarafi menempuh teori: lil wasail hukmul maqasid ( status hukum
sebuah sarana sesuai dengan status hukum tujuan dari sarana tersebut), jadi
sarana untuk yang wajib menjadi wajib dan seterusnya, lalu beliau memandang
Bid’ah itu sebagai sarana untuk sesuatu yang kadang-kadang wajib, Sunnah dll,
maka hukum Bid’ah itu disesuaikan dengan hukum tujuan.
Namun
penempatan teori tersebut tidak tepat, karena sarana yang disesuikan dengan
tujuan, hanyalah sarana yang pada dasarnya mubah ( boleh ), seperti wajib
berjalan untuk menunaikan shalat Jum’at, sementara hukum dasar Bid’ah itu
terlarang, maka tidak dapat dijadikan sebagai sarana untuk yang mubah dll,
mungkinkah seseorang memasuki suatu tujuan yang halal melalui pintu yang haram?
(Bid’ah). ( Majmu’ah fawaid. Shaleh Al Asmari 1/81)
- Menimbang syubhat dan validitas Bid’ah Hasanah
Imam As
Suyuti menyebutkan bahwa: Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membagi Bid’ah
kedalam kategori Hasanah (baik) dan Dlalalah-Sayyi’ah-(sesat, buruk). As Suyuti melanjutkan, segala hal yang kontra dengan Al
Qur’an, Sunnah Nabi saw, Atsar Sahabat dan Ijma’ (konsensus Ulama) adalah
Bid’ah dlalalah, Dan semua hal yang sejalan dengan keempat hal tersebut adalah
Bid’ah hasanah seperti membangun sekolah dll.( Al Amr bil
Ittiba. As Suyuti hal 6) Hasil
Ijtihad tersebut perlu ditimbang secara obyektif dan argumentatif berdasarkan
Al Qur’an dan Hadits, karena tidak ada hasil Ijtihad yang bersifat absolute dan
sakral.
Asumsi adanya Bid’ah Hasanah seperti disebut diatas, berbenturan dengan
sejumlah hal dibawah ini:
Semua Hadits tentang Bid’ah bersifat umum, hal ini menunjukkan§ bahwa keumuman tersebut tidak mengandung pengecualian,
karena salah satu kaedah ushul fiqh ( teori yurisprudensi Islam) berbunyi:
keumuman suatu dalil jika disebutkan berulang-kali dengan bentuk yang umum
tersebut, berarti dalil itu tidak menerima pengecualian (takhsis).
Status Bid’ah –sesat- menutup kemungkinan adanya Bid’ah Hasanah,§ karena hakikat sesat adalah: kesalahan yang dianggap
benar ( lihat surah Al Kahfi ayat 104 ), seperti halnya seseorang yang tersesat
dijalan, karena sebelumnya ia menganggap telah berada dalam jalur yang
tepat.jadi peng-hasanah-an itulah yang sesungguhnya membuat Bid’ah itu disebut
sesat.
Jika kita
mengandaikan adanyan Bid’ah Hasanah, lalu apa yang§
menjadi parameter ke-hasanah-an Bid’ah tersebut?, kalau jawabannya: Al Qur’an
dan Sunnah, lalu mana ayat dan Haditsnya?, dan kalau jawabannya: logika, lalu
bolehkah merekayasa sebuah Ibadah dalam Islam dengan menggunakan logika?
Bukannkah jangkauan logika manusia berbeda-beda dan terbatas?.
Ibn Umar
ra berkata: semua Bid’ah itu sesat, meski orang memandangnya baik. (Al Amr bil
Ittiba. As Suyuti hal 3)§
Barangkali
Oknum yang mendukung teori Bid§’ah
hasanah akan berdalih ( bukan berdalil) dengan Hadits yang berbunyi: apapun
yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka ia juga baik dalam pandangan
Allah, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- pernyataan tersebut bukan Hadits Nabi saw, tapi perkataan Ibnà Mas’ud yang diriwayatkan oleh sejumlah ulama seperti Ahmad dalam kitabus Sunnah, Imam Al Bazzar,At Thayalisi dll ( lihat Kasyfu Khafa . Al Ajluni 2/188).
- umumnya Ulama menempatkan ucapan Ibn Masud tersebut sebagaià dalil bolehnya mengadopsi Adat/Tradisi yang tidak berlawanan/dikotomis dengan Al Qur’an dan Hadits, bukan untuk melegalkan Bid’ah.( lihat Al Asybah wan Nadzoir -As Suyuthi-, Al Burhan –Al Juwaini-, hasyiyah Al Uththor –al Mahalli- dll). Ketiga: ucapan seorang Sahabat tidak dapat digunakan untuk mengecualikan keumuman Hadits Nabi saw.à
Adapun
menghasanhakan Bid’ah melalui ucapan Umar ra Ketika pertama§ kali ia melakukan shalat Tarawih secara
berjamaah pada masa kakhalifahannya: ini adalah sebaik baik
Bid’ah,(diriwayatkan Bukahri, Malik dll dari Abdur Rahman bin Abdul Qory),
adalah satu langkah yang tidak tepat, karena:
Nabi saw
pernah melakukan shalat Tarawih berjamaah selama tiga hari,à lalu beliau meninggalkannya karena takut
dianggap kewajiban oleh masyarakat kala itu, jika Nabi pernah malakukannaay,
berarti hal tersebut bukanlah Bid’ah yang dilarang Nabi saw, sebab tidak
mungkin Umar menentang ucapan Nabi saw.
Apabila
Umar mengatakan bahwa itu adalah Bid’ah yang bagus, berartià Bid’ah yang beliau maksud berbeda dengan
Bid’ah yang dilarang oleh Nabi dalam Hadits, Umar ra bermaksud Bid’ah lugowiyah
(secara semantik) sementara Nabi saw bermaksud Bid’ah syar’iyah (
terminologis), karena shalat tarawih berjama’ah tersebut ada dasar hukumnya dalam
Hadits Nabi saw, hanya saja sempat vakum dizaman Abu Bakar ra, maka yang
dilakukan Umar sebenarnya adalah rekonstruksi satu bangunan yang pernah ada
dizaman Nabi bukan konstruksi.
Lagi-lagi
ucapan Sahabat tidak dapat digunakan untuk
mengecualikan keumuman Hadits Nabi sawà Jika memang ada Bid’ah hasanah,
lalau mana yang dlalalah?, bukankah semua Bid’ah itu sudah dianggap baik oleh
para pecandunya?§
Sebagian
beranggapan bahwa pembagian Bid’ah hasanah dan dlalalah§
secara langsung bersumber dari Hadits shahih yang diriwaytkan oleh Imam
Thabrani dari Watsilah ra,juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Thabrani dari
Abi Juhaifah ra yang berbunyi : siapapun yang melakaukan Sunnah hasanah, maka
baginya pahala atas Sunnah hasanah tersebut, juga pahala dari orang-orang yang
mengikutinya,tanpa sedikitpun dikurangi, dan barang siapa yang melakukan Sunnah
sayyi’ah ( buruk),maka baginya dosa atas Sunnah sayyi’ah tersebut dan dosa dari
orang-orang yang mengikutinya, tanpa sedikitpun dikurangi.
ada beberapa tanggapan atas dalih
tersebut:
-
Nabi saw
menyebutkan Sunnah hasanah dan Sunnah sayyi’ah, bukan Bid’ah, bukankah antara
Sunnah dan Bid’ah berbeda secara mutlak? Namun kenapa Hadits tersebut difahami
sebagai dasar argumentasi untuk memecah Bid’ah kedalam Hasanah dan Dlalalah.
-
Jika
Hadits tersebut diambil dari jalur riwayat: Imam Muslim, Ahmad, Nasai, Ibn
Majah, Turmidzi, Darimi, Abi Awanah dan At Thayalisi dari Jarir bin Abdullah
ra, maka akan jelas bahwa Hadits itu tidak dapat menguatkan pembagian Bid’ah
kepada Hasanah dan Dlalalah, sebab ditemukan katerangan yang lebih rinci
melalui riwayat Jarir ini , dimana Nabi saw bersabda: siapapun yang melakaukan
Sunnah hasanah dalam Islam…… dan barang siapa yang melakukan Sunnah sayyi’ah
dalam Islam…, kata dalam Islam, menunjukkan bahwa standar Sunnah hasanah dan
Sayyi’ah adalah Islam yang notabene adalah Al Qur’an dan Hadits, dan salah satu
kaedah istinbath (pengambilan hukum) berbunyi: wajib mengembalikan riwayat yang
global kepada riwayat yang bersifat spesifik.
-
Jika
Hadits tersebut dikembalikan kepada Sababul Wurudnya, maka akan nampak lebih
jelas lagi bahwa Hadits itu sama sekali tidak mendukung Bid’ah, disebutkan
bahwa sekelompok orang miskin dari suku Mudlar memasuki kota Madinah, maka Nabi
saw memotivasi para Sahabat untuk bersedekah, seorang laki-laki menemui Nabi
sambil membawa sedekah, yang kemudian diikuti oleh orang kedua, ketiga dan
selanjutnya, selanjutnya beliau bersabda: barangsiapa yang melakukan sunnah
hasanah…….., jika pelaku Sunnah hasanah yang dimaksud oleh Hadits adalah orang
yang pertama bersedekah, lalau diikuti oleh yang lain, berarti maksud Hadits
itu adalah anjuran untuk menjadi contoh kebaikan yang didasari dalil bagi orang
lain, coba bandingkan antara Sedekah dan Bid’ah, yang satu diambil dari wahyu,
dan yang lain diambil dari logika.
Sebagian orang menilai bahwa, Bid’ah -hasanah- itu boleh karena§ tidak ada dalil yang melarang dan menyuruhnya, contoh:
tidak ada dalil yang melarang dan memerintahkan peringatan Maulid, berarti
Mubah ( boleh), pembenaran seperti ini sangat keliru, sebab hukum dasar ibadah
adalah terlarang, kecuali ada dalil yang menyuruh, maka jika tidak ada dalil
tentang suatu hal yang dinilai Ibadah, berarti wajib mengembalikannya kepada
Hukum dasar tersebut, makanya tidak boleh menambah jumlah rakaat shalat wajib
meski tidak ada dalil yang melarangnya.
Sebenarnya
semua pihak mengakui, bahwa Nabi saw memang tidak pernah§ melakukan semua yang disebut-sebut Bid’ah
hasanah tersebut, masalahnya, ada oknum yang memasarkannya dengan dalih “apa
salahnya, toh ada maslahatnya”, namun dimana maslahat menghindari Bid’ah?
Apakah maslahat yang anda sebutkan sesuai dengan kaedah maslahat yang
disebutkan dalam Ushul fiqh? Bukankah penggunaan maslahat hanya dalam persoalan
non ibadah dan Aqidah seperti social, politik, muamalat dll? Sementara anda
menggunakan maslahat dalam kawasan ibadah atau bahkan akidah?
Terkadang
mereka berkata: mengingkari Bid’ah dapat menimbulkan§
fitnah dan perpecahan, dimana bobot maksiatnya lebih tinggi dari pada Bid’ah,
maka wajib membiarkan Bid’ah untuk menghindari kemungkaran yang lebih besar.
Sepertinya
logis, tapi apakah memang kemungkaran Bid’ah -secara mutlak- lebih rendah
daripada fitnah dan perpecahan? Bukankah ada jenis Bid’ah yang bisa
mengkafirkan? Lagi pula, apakah selamanya mengingkari Bid’ah berarti terjadi
fitnah dan perpecahan? Sesungguhnya Yang terpenting adalah kebijaksanaan dan
akhlak dalam mengingkari Bid’ah, kalau kemudian kondisi antagonis tetap
terjadi, itu harus difahami sebagai sunnatulloh dalam dakwah, bukankah
masyarakat Mekkah juga mengalami goncangan yang sangat dahsyat menerima dakwah
Nabi saw, padahal beliau adalah imam bagi para dai yang sudah pasti mamahami
waqi’ dan fiqih dakwah, bahkan langkah dakwah beliau dipandu langsung oleh
wahyu?.
Yang juga
tidak dapat dipungkiri, bahwa tindakan sebagian orang§
yang melindungi Bid’ah dengan menjulukinya dengan hasanah, tidak terlepas dari
syahwat kepentingan pribadi maupun golongan, sehingga mereka rela berbeda
dengan Nabi saw.
Mereka
juga menyanggah Bid’ah dengan tindakan mayoritas orang, atau§ tindakan seseorang yang diakui sebagai Ulama,
Kiyai dll, masalahnya, apakah dibenarkan menggunakan aspek mayoritas, atau
status social seseorang sebagai standar baik dan buruk, halal dan haram?,
bukankah anggapan bahwa seorang ulama tidak akan salah merupakan kultus
individu yang diharamkan?, ketika sang Ulama/Kyai Shalat dengan menjaharkan
lafaz usholli, sementara Nabi tidak menjaharkannya, bisakah dianggap ulama itu
benar/tidak salah, padahal ia telah berbeda dari Nabi saw?
Yang betul, para Ulama-pun bisa
salah ketika tidak menggunakan dalil:, misalnya :
1. sewaktu ia belum menemukan dalil,
2. atau menemukannya, namun menganggapnya lemah padahal shahih,
3. atau menemukannya, namun memahaminya secara keliru,
4. atau menemukannya, namun ia menilainya Mansukh padahl tidak,
5. atau menemukannya, namun ia menganggapnya kontra dengan dalil lain, padahal tidak.
6. atau karena faktor-faktor lain
1. sewaktu ia belum menemukan dalil,
2. atau menemukannya, namun menganggapnya lemah padahal shahih,
3. atau menemukannya, namun memahaminya secara keliru,
4. atau menemukannya, namun ia menilainya Mansukh padahl tidak,
5. atau menemukannya, namun ia menganggapnya kontra dengan dalil lain, padahal tidak.
6. atau karena faktor-faktor lain
Anda pasti
mengaku bahwa Nabi saw tidak pernah melakukan apa yang anda namakan dengan Bid’ah
hasanah, pertanyaannya adalah:§
- apakah dalam hal ini anda dinamakan mencontoh Nabi saw?,
- jika ada perbedaan antara anda dengan Nabi saw, apakah keduanya sama-sama benar? Atau apakah sama-sama salah? Atau salah satu benar? Lalu siapa yang benar?.
Dialog berikut ini layak untuk
anda renungkan antara pembela Sunnah (PS) VS pembela Bid’ah (PB):§
- PB: Yasinan, maulidan, ratiban, dzikir jamaah dan semua yang baik adalah boleh, karena ada unsur baiknya, ini yang disebut oleh para ulama kita dengan Bid’ah hasanah.
- PS: apakah Nabi saw mengetahui hal-hal tadi sebagai amal shalih atau tidak?
- PB: Nabi saw tahu.
- PS: jika beliau mengetahuinya, apakah beliau menyampaikannya atau tidak?
- PB: Nabi saw menyampaikannya
- PS: kalau begitu dimana riwayatnya?
- PB: …..mm…mungkin beliau tidak menyampaikannya
- PS: itu artinya Nabi saw menyembunyikan kebenaran?
- PB: …cck.. kalau begitu Nabi saw tidak mengetahui hal-hal tadi
- PS: lalau bagaimana anda bisa tahu jika Nabi saw aja tidak tahu?
- Perlu dicatat:
Apabila
tulisan ini terkesan menyalahkan atau melemahkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Al Qarafi, maka ada dua hal yang perlu dicatat,:
Kesalahan
seoarang Ahli Ijtihad tidak akan mencederai kemulyaan mereka, sehingga hal itu
bukan aib bagi mereka, bahkan mereka tetap mendapatkan satu pahala atas Ijtihad
mereka. Meluruskan Ijtihad dengan dalil, adalah satu hal yang wajib dilakukan,
demi menemukan kebenaran yang lebih dekat kepada Dalil.à
- Tips aman & saran:
pembicaraan
tentang Bid’ah seringkali menimbulkan sikap yang kurang bijak dari kalangan
yang pro maupun dari pihak yang kontra, berikut ini saran atau tips aman
menyikapai Bid’ah:
Hendaknya
setiap pihak menegakkan Akhlaq terhadap semua kaum muslimin, lebih-lebih akhlaq
tentang hak sesama Muslim, “khilafiyah’ tidak akan membahayakan sepanjang ada
control berupa kemuliaan akhlak. Hendaknya semua kalangan mendalami agama ini
dengan sungguh-sungguh dan
dengan cara yang ilmiyah dan argumentative, karena penolakan, lebih sering
disebabkan karena ketidak-tahuan. Lengkapi
setiap informasi islam dengan dalilnya, sebab hanya dalilà dengan pemahaman yang tepat, yang
memungkinkan anda dapat memastikan sebuah kembenaran.
Reverensi yang dianjurkan untuk
memahami Bid’ah:
-
dalam
madzhab Malik:
-
Al
I’tishom oleh Imam Syathibi
-
dalam
madzhab Syafi’i:
-
Al Amr Bil
Ittiba’ oleh Imam As Suyuthi
-
Al It
Thi’adz wal I’tibar oleh Imam Al Muqrizi
-
dalam
madzhab Ahmad:
-
buku-buku
Imam Ibn Taymiyah dan Ibnul Jauziah
-
dalam
madzhab Hanfi
-
Al
Mi’yarul marib oleh Imam Al Lakhmi
bebas
madzhab:
-
Al bida’
wan Nahyu anha oleh Imam Ibn Wadldloh
-
Al Milal
wan Nihal oleh Asy Syahrostani
-
As Sunan
wal mubtada’at oleh Asy Syuqairy
-
Al Bida’
wal Firaq oleh Dr Al Aql
-
Ushulul
bida’ oleh Al Halabi
Komentar
Posting Komentar